Senin, 29 Juli 2013

TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA 
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain, 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Inspirasi yang melandasi adalah kenyataan bahwa pendidikan jasmani merupakan salah satu mata pelajaran yang digunakan oleh guru dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain terlihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks pendidikan jasmani tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan. 

Pembelajaran pendidikan jasmani lebih sering diajarkan melalui teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya atau jika pun melakukan permainan, permainan tersebut tidak sesuai dengan hakikat kemampuan siswa serta kehilangan nilai-nilai keolahragaannya dan yang lebih penting, tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada siswa dalam berolahraga. Hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan konsep “developmentally appropriate practices”. Bahkan dalam kenyataannya pun, untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru.

Enam karakteristik model sport education yang seringkali absen dari pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya adalah: musim, anggota team, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil, perayaan hasil kompetisi. Berikut ini dijelaskan karakteristik tersebut:
a)       Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta seringkali diakhiri dengan puncak kompetisi.
b)        Anggota team merupakan karakteristik kedua dari model sport education. Semua siswa harus menjadi salah satu anggota dari team olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai.
c)        Kompetisi formal merupakan karakteristik ke tiga dari model sport education. Kompetisi dalam model ini mengandung tiga arti, yaitu: festival, usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. Kompetisi formal dilakukan secara berselang-seling dengan latihan dan format yang berbeda-beda: misal dua lawan dua, tiga lawan tiga dan seterusnya hingga pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa.
d)       Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari siapa yang terbaik pada musim itu, dan ciri khas ini dijadikan karakteristik ke empat dari model sport education. Dalam pembelajaran permainan pada umumnya, pertandingan seperti ini sering dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota team sehingga terkadang lepas dari konteksnya.
e)        Catatan hasil merupakan karakteristik ke lima dari model sport education. Catatan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, dari mulai dai catatan masuk goal, tendangan ke goal, curang, kesalahan-kesalahan, dan sebagainya disesuaikan dengan kemampuan siswa. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback baik bagi individu maupun team.
f)         Perayaan hasil kompetisi merupakan karakteristik ke enam dari model sport education. Perayaan hasil kompetisi seperti upacaya penyerahan medali berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan siswa. Keenam karakteristik model sport education ini oleh Siedentop dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa proses pembelajaran pada umumnya tidak lengkap dalam mengajar siswa melalui olahraga.

1.    Perbedaan Sport Education dengan Sport 
Perbedaan yang mencolok antara sport education dengan sport (olahraga) adalah: persyaratan partisipasi (participation requirements), keterlibatan yang sesuai dengan perkembangan siswa (developmentally appropriate involvement), dan peran yang lebih beragam (more diverse roles).
a)      Persyaratan partisipasi (participation requirements). Sport education menuntut adanya partisipasi penuh dari semua mahasiswa pada semua musim. Tuntutan ini akan mempengaruhi pertimbangan dalam memilih jumlah team dan anggota pada masing-masing team, dan karakteristik kompetisi yang dilakukannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: (1) Sistem gugur sedapat mungkin dihindari. (2) Jumlah anggota team yang terlalu banyak juga harus dihindari sebab permainan cenderung akan didominasi oleh siswa yang sudah terampil. (3) Puncak pertandingan harus merupakan even untuk semua siswa tidak hanya untuk siswa atau team yang paling baik. (4) Semua siswa mendapat kesempatan yang sama pada semua peran.
b)      Keterlibatan yang sesuai dengan perkembangannya (developmentally appropriate involvement). Bentuk olahraga yang digunakan dalam sport education harus sesuai dengan pengalaman dan kemampuan siswa. Semua olahraga harus diberikan secara bertahap dan dimodifikasi namun menyeluruh pada keenam karakteristik sport education tersebut di atas.
c)      Peran yang lebih beragam (more diverse roles). Model sport education menuntut siswa memainkan banyak peran daripada olahraga pada umumnya yang hanya berperan sebagai pemain. Dalam model sport education, selain belajar berperan sebagai pemain, siswa juga belajar sebagai pelatih, wasit, dan pencatat skor. Pada kasus model tertentu, siswa dapat belajar sebagai manager, instruktur, penyiar, dan penulis berita olahraga. 
2.    Implementasi Model Sport Education 
Menurut Siedentop (1995) seperti model-model pembelajaran lain, model sport education dapat diimplementasikan secara baik atau sebaliknya. Keberhasilan dan kegagalan model ini bergantung kepada bagaimana para guru, implementasinya. Menurut Siedento et al (2004) terdapat beberapa petunjuk dan saran untuk membantu para guru memulai implementasi model sport education kemudian membangun keberhasilan pada pelaksanaannya.

Jika para guru mencoba model sport education, maka mulailah dengan kemauan untuk berhasil melaksanakannya. Hal tersebut akan membuat perencanaan menjadi penting. Perencanaan pada percobaan awal harus memasukkan pertimbangan tentang olahraga yang dipilih, tingkat keterlibatan siswa, materi yang diperlukan untuk melaksanakannya secara mulus, serta strategi untuk menghasilkan atmosfir festival yang memotivasi siswa.

Model sport education memerlukan partisipasi penuh dari para siswa. Sedangkan permasalahannya tetap klasik, yaitu bahwa waktu untuk pembelajaran sangat terbatas, padahal mahasiswa harus tetap memiliki pengalaman berhasil sebanyak mungkin. Oleh karena itu, cabang olahraga formal yang dilaksanakan dengan format sebenarnya harus dipertimbangkan akibatnya. Hampir semua cabang olahraga dapat dimodifikasi untuk membuatnya lebih bersifat tepat sesuai perkembangan (developmentally appropriate) serta memastikan adanya keterlibatan penuh dari siswa. Partisipasi di sini berarti benar-benar melaksanakan keterampilan dan terlibat dalam permainan strategis sebagai seorang anggota regu. Sudah bukan rahasia bahwa permainan yang dilakukan secara formal akan menyebabkan siswa yang terlibat dalam permainan tidak benar-benar berpartisipasi. 


Meskipun hakikat khusus dari setiap peran berbeda dari situasi ke situasi, berikut adalah tugas yang harus dijalankan oleh setiap peran tersebut:
a)      Pelatih atau kapten regu bertugas memimpin pemanasan, mengarahkan latihan keterampilan dan strategi, membantu membuat keputusan tentang susunan pemain, menyerahkan susunan pemain tadi kepada pengajar atau manajer, dan umumnya memberikan pengarahan untuk regunya sendiri.
b)   Asisten Pelatih atau kapten membantu kapten dan mengambil alih peranan mereka jika mereka tidak hadir.
c)    Wasit bertugas memimpin pertandingan, membuat keputusan tentang peraturan, dan secara umum menjaga agar pertandingan berlangsung tanpa gangguan.
d)   Pencatat nilai mencatat skor penampilan ketika hal itu terjadi, menjaga penghitungan yang masih berubah dari kompetisi yang masih berlangsung, mengumpulkan skor, dan menyerahkan hasil akhir kepada personel yang tepat (guru, manajer, atau statistisian).
e)    Statistisian mencatat data penampilan yang menojol, menggabungkannya ketika sudah tuntas, menyimpulkan keseluruhan kompetisi, dan menyerahkan data tersebut kepada pihak yang berwenang (guru, reporter, atau manajer).
f)    Reporter mengambil catatan dan statistik yang terkumpul dan mempublikasikannya. Publikasi ini diterbitkan melalui lembaran mingguan olahraga, koran sekolah, poster, atau newsletter khusus model sport education.
g)   Manajer sering digunakan untuk membedakan peran kepemimpinan dari pelatih dari tugas administratif suatu regu. Manajer bertugas menyerahkan formulir yang diperlukan, membantu menetapkan peranan yang tepat sebagai atlet, wasit, pencatat nilai, atau sejenisnya, dan secara umum menetapkan fungsi-fungsi administratif tentang tanggung jawab regu.
h)   Trainer bertanggung jawab untuk mengetahui cedera umum yang terkait dengan olahraga, mendapatkan akses pada tindakan pertolongan pertama, dan untuk melapor kepada pengajar tentang setiap masalah cedera selama latihan atau pertandingan. Meskipun mereka tidak harus memberikan pertolongan pertama tanpa pengawasan pengajar, mereka dapat membantu pengajar dalam pengadministrasian pertolongan pertama dalam dalam rehabilitasi berikutnya.
i)     Penyiar dapat memperkenalkan para pemain dan menjelaskan jalannya permainan yang sedang berlangsung selama pertandingan.
Peran-peran tersebut di atas dapat dengan mudah dipelajari ketika terdapat deskripsi yang dan kriteria yang jelas terhadap penampilan peran tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan membuat sebuah booklet yang menjelaskan tugas dari setiap peran dan menjelaskan secara tepat tugas yang harus diselesaikan serta kapan harus dilaksanakannya. Booklet semacam itu harus diserahkan kepada para siswa dan dikembalikan secara utuh pada akhir musim pertandingan (pengajar membuat aturan tentang pengembalian dalam sistem akuntabilitas yang harus dipenuhi).
3.    Program Evaluasi
Contoh penilaian di bawah ini menggambarkan bagaimana sport education dinilai. Pengajar menggunakan daftar periksa (checklist) keterampilan untuk menetapkan tingkat kemampuan siswa dalam pertandingan. Daftar periksa tersebut dapat juga digunakan untuk tujuan penilaian. Daftar tersebut menunjukkan kemajuan dan penyelesaian yang berhasil dalam keterampilan yang relevan. Rangkaian itu merupakan jenis penampilan yang relevan untuk dinilai dan mewakili keterampilan otentik dalam sport education.
Dalam beberapa model, tes tertulis tentang bagaimana memainkan dan mewasiti suatu cabang olahraga dapat juga digunakan. Dalam pembelajaran voli, siswa melakukan satu paket keterampilan setiap hari dengan dicatat oleh kapten regu penampilannya. Penampilan harian ini dikumpulkan dan disajikan sebagai sebuah penampilan semusim pertandingan. Kumpulan catatan demikian juga memberikan informasi penilaian yang berguna. Catatan demikian menunjukkan kemajuan selama pembelajaran dan sekaligus tingkat penampilan otentik dan absolut dari siswa.
Dalam model sport education yang memilih program peningkatan kebugaran (kekuatan), terdapat tantangan harian dan mingguan di samping catatan angkatan dalam seluruh musim. Data tersebut tentu akan dapat digunakan untuk tujuan penilaian. Catatan tersebut dapat digunakan untuk menentukan tingkat kemajuan dan juga tingkat penampilan absolut siswa. Dalam model sport education, tujuan dari pembelajaran atau musim kompetisi dalam cabang olahraga tertentu disajikan bersama-sama dengan cara penilaiannya. Data dari hasil penilaian tersebut dikumpulkan sebagai satu bagian teratur dari siswa selama musim sport education.

0 komentar:

Posting Komentar