Senin, 26 Mei 2014

PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN

PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN 
I. UMUM
Penyelenggaraan keolahragaan nasional semakin kompleks dan berkaitan dengan berbagai aspek dan tuntutan perubahan global, sehingga sudah saatnya Pemerintah memperhatikan dan mengaturnya secara terencana, sistematik, holistik, dan berkesinambungan dan mengelolanya secara profesional sebagai strategi nasional untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional. Penyelenggaraan keolahragaan sebagai bagian dari suatu bangunan sistem keolahragaan nasional mencakup pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, olahraga prestasi, olahraga amatir, olahraga profesional, dan olahraga bagi penyandang cacat, sarana olahraga, ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan serta standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi.

Dilandasi semangat otonomi daerah Peraturan Pemerintah ini mengatur pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang meliputi Pemerintah, Menteri, dan menteri yang terkait, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, gubernur dan bupati/walikota, induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi fungsional olahraga di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta masyarakat umum. Dengan kejelasan dan ketegasan pengaturan mengenai tugas, tanggung jawab dan wewenang, Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan urusan pemerintaha, mutu pelayanan publik di bidang keolahragaan, dan pembinaan dan pengembangan potensi unggulan daerah melalui partisipasi aktif masyarakat. Peraturan Pemerintah ini diarahkan utnuk mencegah penyelenggaraan industri olahraga profesional berorientasi pada bisnis semata (business-oriented) yang mengabaikan kepentingan olahragawan, pelaku olahraga, dan masyarakat luas.

Peraturan Pemerintah ini meletakkan landasan pengaturan bagi alih status dan perpindahan pelaku olahraga/tenaga keolahragaan baik antar daerah maupun antar negara, untuk selanjutnya dapat dijabarkan secara lebih teknis dan administratif oleh para pelaksana baik ditingkat komite olahraga nasional, induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi olahraga fungsional, dan organisasi olahraga lainnya. Pengaturan alih status dan perpindahan pelaku olahraga dititikberatkan pada 3 pendekatan yaitu 1) hak dan persyaratan mengingat proses ini berkaitan dengan hak asasi manusia, keselamatan, kesejahteraan, serta masa depan pelaku olahraga; 2) kerangka pembinaan dan pengembangan olahragawan yang harus berjalan secara teratur ditinjau dari organisasi maupun administrasi; dan 3) kewajiban tenaga keolahragaan asing untuk menghormati hukum Indonesia. Untuk terlaksananya tugas pembinaan dan pengembangan serta pengawasan dan pengendalian olahraga profesional secara efektif, fokus, intensif, dan berkesinambungan, Peraturan Pemerintah ini memberikan dasar yuridis untuk membentuk badan olahraga profesional di tingkat nasional yang dapat dibentuk sampai tingkat provinsi.

Peraturan Pemerintah ini menjadi dasar hukum bagi pembentukan kelembagaan baik oleh Pemerintah/pemerintah daerah maupun masyarakat. Kelembagaan dimaksud meliputi pembentukan dinas olahraga, lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan, Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK), untuk memajukan pembinaan dan pengembangan olahraga nasional.

Standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan sangat penting untuk menciptakan iklim penyelenggaraan keolahragaan sesuai Standar Nasional Keolahragaan sebagai acuan yang harus diperhatikan oleh seluruh komponen dalam pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional. Peraturan Pemerintah ini memberikan landasan yuridis bagi Menteri untuk menetapkan standardisasi dan akreditasi keolahragaan nasional dengan tetap memperhatikan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Peraturan Pemerintah ini menempatkan organisasi olahraga berbasis masyarakat sebagai organisasi yang mandiri dan mitra strategis Pemerintah dan pemerintah daerah dalam membina dan mengembangkan keolahragaan nasional. Untuk itu, Peraturan Pemerintah ini mengakui dan memberikan kepastian hukum bagi organisasi keolahragaan yang melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi, baik di pusat maupun di daerah.

Peraturan Pemerintah ini memberikan kepastian dan jaminan hukum kepada induk organisasi cabang olahraga, pengurus cabang olahraga tingkat provinsi, pengurus cabang olahraga tingkat kabupaten/kota, organisasi olahraga fungsional, organisasi olahraga khusus penyandang cacat, klub/perkumpulan, sasana, sanggar, komite olahraga kabupaten/kota, dan Komite Olimpiade Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan keolahragaan sesuai tugas, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawabnya masing-masing.

Bahwa organisasi keolahragaan harus berbadan hukum tidak dimaksudkan untuk membatasi hak konstitusional dan kemandirian masyarakat dalam berorganisasi, akan tetapi harus dipahami sebagai strategi nasional untuk mengembangkan organisasi keolahragaan nasional yang memiliki manajemen pengorganisasian yang profesional, efektif, dan berdaya saing serta untuk memudahkannya dalam membina kerjasama dan koordinasi yang efektif, baik dengan Pemerintah dan pemerintah daerah maupun antar sesama organisasi olahraga.

Seluruh organisasi olahraga yang telah memenuhi persyaratan standar organisasi olahraga harus sudah menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini. Ketentuan ini dibuat dalam rangka memelihara kesinambungan dan mencegah timbulnya lingkungan yang menghambat proses pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi.

Pengaturan larangan rangkap jabatan pengurus komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota dengan jabatan struktural dan/atau jabatan publik, dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik kepentingan di dalam kepengurusan yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan, dan untuk menjaga kemandirian dan netralitas, serta menjamin keprofesionalan dalam pengelolaan keolahragaan.

Prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan keolahragaan diwujudkan antara lain melalui pelaksanaan pengawasan yang melibatkan semua pihak. Pengawasan dilakukan untuk menjamin berjalannya mekanisme kontrol, menghindari kekurangan dan penyimpangan, dan evaluasi kinerja semua pihak yang diberikan kewenangan untuk menangani penyelenggaraan keolahragaan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005. Obyek pengawasan dalam Peraturan Pemerintah ini tidak terbatas pada pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggungjawab instansi Pemerintah/pemerintah daerah akan tetapi mencakup semua sub sistem penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi.

Hal ini dikarenakan pengawasan sebagai subsistem keolahragaan saling terkait dengan sub sistem lainnya dalam sistem keolahragaan nasional secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mendukung upaya pencapaian tujuan keolahragaan nasional.

Efektifitas pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tergantung pada keterbukaan dan ketersediaan informasi keolahragaan yang dapat diakses masyarakat sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk melakukan penyampaian pendapat, pelaporan atau pengaduan, pengajuan usul, monitoring, atau peninjauan atas penyelenggaraan keolahragaan. Masyarakat berhak memperoleh informasi antara lain mengenai pengelolaan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Masyarakat juga dapat mengajukan pelaporan/pengaduan dalam hal diketemukan penyimpangan atau kekurangan dalam penyelenggaraan keolahragaan.

Peraturan Pemerintah ini memberikan dasar yuridis kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran/penyimpangan di wilayah yang menjadi kewenangannya. Akan tetapi perlu dipastikan bahwa pengenaan sanksi administratif tidak ditujukan sebagai penghukuman melainkan sebagai proses pendidikan dan pembinaan.

SEJARAH SEPAK BOLA INDONESIA

SEJARAH SEPAK BOLA INDONESIA 
Sepak Bola Indonesia 
Indonesia dan sepak bola, sejarah mencatat sepak bola dibawa masuk ke Indonesia oleh para pedagang dari negeri Belanda, kalau mereka awal masuknya ke Indonesia sekitar tahun 1602 M maka sepakbola lahir dari perkembangan aktifitas dagang mereka di Indonesia.

Namun lebih spesifik nya sepak bola mulai di mainkan sebagai ajang perlombaan permainan di mulai sejak 1920, di mana pada saat itu belanda sudah membawa berbagai macam olah raga lain nya seperti tenis, kasti, bola tenis renang dan hoki namun kesemua nya itu hanya di peruntukan bagi kalangan Belanda, Eropa dan Indo saja, tetapi bedahalya dengan sepak bola, dimana rakyat pribumi di perbolehkan memainkan nya selain itu sepak bola juga tidak terlalu membutuhkan sarana atau alat pendukung yang banyak sehingga menjadi olahraga yang langsung di gemari oleh seluruh rakyat pribumi pada saat itu.

Dari saat itulah persepakbolaan indonesia mulai terbentuk dari berdiri nya organisasi-orgaanisasi sepakbola pioner indonesia seperti, persatuan Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta (Persija), persatuan sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang terus berkembang hingga dapat lolos ke piala dunia FIFA 1938.

Kemungkinan lahirnya sejarah sepakbola diatas dapat menjadi kebenaran atau pula menjadi kesalahan, namun tidak ada yang boleh menjustifikasi kedua hal tersebut kecuali atas dasar fakta sejarah yang kuat dan benar. Disinilah letaknya urgensi dilakukanya penelusuran sejarah sepak bola nasional Indonesia.

Berharap pemerintah agar melalui kementrian pemuda dan olahraga dapat juga memperhatikan akan hal ini sehingga sejarah olahraga nasional tidak kehilangan benang merah. Tetapi kita semua jangan selalu menuggu dan berharap terhadap sikap pemerintah akan kepedulian nya dengan hal ini, perlu kesadaran tinggi agar catatan sejarah gemilang bangsa ini tetap utuh sebagai pelajarang berharga bagi bangsa ini. penelitian tentang hal ini mungkin sangat urgen untuk dilakukan sehingga memberikan beberapa titik awal kejelasan sejarah lahirnya sepakbola nasional, agar persepakbolaan kita lebih baik karna bekaca pada sejarah dan tidak menjadikannya catatan saja tetapi sebagai pecutan semangat agar persepakbolaan nasional dapat bangkit dan sejajar dengan raksasa sepak bola dunia.

Sejarah PSSI
Jakarta1920 olah raga sedang bergeliat di sana, kasti, bola tangan renang, tennis, renang dan hoki di perkenalkan pada masyarakat Indonesia namun terbatas untuk kalangan Eropa Belanda dan Indo saja, namun pertandigan voetbal atau sepak bola sering di pertunjukan juga untuk meramaikan pasar malam yang biasanya di adakan saat sore hari, yang menjadikannya terkenal dan popular di kalangan masyarakat Jakarta pada masa itu karena tidak memerlukan tempat dan peralatan khusus dan pribumi di perbolehkan memainkannya.

Lapangan Singa atau sekarang dikenal dengan Lapangan Banteng menjadi saksi bisu dimana pertandingan sepak bola pada saat itu sering di lombakan, pada saat itu mereka menyebut nya vijfkam atau panca lomba dan tienkan dasa lomba. Dengan adanya kegiatan rutin ini maka terbentuklah bond sepak bola atau perkumpulan sepak bola yang pesertanya adalah serdadu-serdadu yang tinggal di tangsi-tangsi militer, dari bond-bond itulah cikal bakal klub-klub besar lahir. Tidak mau kalah dengan pergerakan tersebut warga Belanda, Eropa dan Indo pun membuat bond-bond serupa. Dari bond-bond itu kemudian terbentuklah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang pada tahun 1927 berubah menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU). Sampai tahun 1929, NIVU sering mengadakan pertandingan termasuk dalam rangka memeriahkan pasar malam dan tak ketinggalan sebagai ajang judi. Bond China menggunakan nama antara lain Tiong un Tong, Donar, dan UMS. Dan adapun bond Cahaya Kwitang, Si Sawo Mateng dan Sinar Kernolong yang dijadikan nama bond warga pribumi yang identik dengan nama wilayah mereka.

1925 terbentuklah persatuan sepak bola Djakarta (PERSIDJA) dan 1928 terbentuklah Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB). Pada 19 April 1930, Persidja ikut membentuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di gedung Soceiteit Hande Projo, Yogyakarta. Pada saat itu Persidja menggunakan lapangan di Jalan Biak, Roxy, Jakarta pusat.

1930-an berdiri tiga organisasi sepakbola berdasarkan suku bangsa, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) lalu berganti nama menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) di tahun 1936 milik bangsa Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) punya bangsa Tionghoa, dan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) milik orang Indonesia. Memasuki tahun

1930-an, pamor bintang lapangan Bond NIVB, G Rehatta dan de Wolf, mulai menemui meredup dan berganti bintang lapangan bond China dan pribumi, seperti Maladi, Sumadi, dan Ernst Mangindaan yang mengantarkan VIJ keluar sebagai juara pada kejuaraan PSSI ke-3 pada 1933.

Pada 1938 dengan banga Indonesia dapat lolos ke Piala Dunia. Namun pengiriman kesebelasan Indonesia (Hindia Belanda) sempat mengalami hambatan.

Dan mencium kelicikan Belanda dimana NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta bersitegang dengan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo, insinyur lulusan Jerman yang lama tinggal di Eropa, dimana beliau ingin pemain PSSI yang dikirimkan untuk bertanding. Namun akhirnya dikirimkan kesebelasan tanpa mengikutsertakan pemain PSSI atau pribumi dan menggunakan bendera NIVU yang sudah diakui FIFA.

Sesaat pada masa prnjajahan Jepang, semua bond sepak bola dipaksa masuk Tai Iku Koi bentukan pemerintahan militer Jepang. Di masa ini, Taiso, sejenis senam, menggantikan olahraga permainan. Baru setelah kemerdekaan, olahraga permainan kembali semarak di permainkan kembali oleh masyarakat.

1948, pesta akbar olahraga bernama PON (Pekan Olahraga Nasional) diadakan pertama kali di Solo. 12 cabang olahraga telah dipertandingkan pada saat itu. Berbagai macam permainan olahraga semakin digemari dan popular di masyarakat Indonesia, terutama sepak bola yang mengakibatkan kebutuhan akan kelengkapan penunjang lahraga semakin meningkat dan di tahun 1960-1970-an, pemuda Jakarta mengenal toko olahraga Siong Fu yang khusus menjual sepatu bola. Produk dari toko sepatu di Pasar Senen ini jadi andalan sebelum sepatu impor menyerbu Indonesia. Selain Pasar Senen, toko olahraga di Pasar Baru juga menyediakan peralatan sepakbola.

Henbal, trekbal (bola kembali), kopbal (sundul bola), losbal (lepas bola), dan tendangan 12 pas telah menjadi istilah lokal yang merupakan pengaruh bahasa belanda. Istilah beken itu kemudian memudar manakala demam bola Inggris dimulai sehingga istilah-istilah tersebut berganti dengan istilah persepakbolaan Inggris. Sementara itu, hingga 1950 masih terdapat pemain indo di beberapa klub di Jakarta. Sebut saja Vander Vin di klub UMS; Van den Berg, Hercules, Niezen, dan Pesch dari klub BBSA. Pemain indo mulai luntur di tahun 1960-an

19 April 1930, PSSI dibentuk di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia sebagai organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda. PSSI dibentuk karena ada kaitannya dengan upaya politik untuk menentang penjajahan. Apabila diteliti lebih lanjut, saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terlihat jelas bahwa PSSI lahir dibantu oleh muatan politis, baik secara langsung maupun tidak, untuk menentang penjajahan dengan strategi menanam benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung.

Soeratin Sosrosoegondo merupakan pendiri PSSI yang pekerjaannya sebagai seorang insinyur sipil. Ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada tahun 1927 dan kembali ke tanah air pada tahun 1928. Ketika kembali, Soeratin bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berpusat di Yogyakarta. Di sana ia merupakan satu-

satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris perusahaan konstruksi besar itu. Akan tetapi, karena kecintaan beliau kepada bangsa ini sangat tinggi, beliau kemudian memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut.

Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di bidang pergerakan. Sebagai seorang pemuda yang gemar bermain sepak bola, beliau menyadari kepentingan pelaksanaan berbagai keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para pemuda Indonesia pada tanggal 28

Oktober 1928 (Sumpah Pemuda). Soeratin melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda sebagai sarana untuk menentang Belanda.

Dalam mewujudkan impiannya, Soeratin rajin mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID). Kemudian, ketika mengadakan pertemuan di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya, dimatangkanlah gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola nasional. Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno (bukan Bung Karno). Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang.

Pada tanggal 19 April 1930, berkumpullah wakil dari VIJ (Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB - Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Gatot), PSM - Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta (Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo), VVB - Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB - Madioensche Voetbal Bond (Kartodarmoedjo), IVBM - Indonesische Voetbal Bond Magelang (E.A. Mangindaan), dan SIVB - Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (Pamoedji). Dari hasil pertemuan tersebut, diambil keputusan untuk mendirikan PSSI, yang merupakan singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Nama PSSI lalu diubah dalam kongres PSSI di Solo pada tahun 1930 menjadi Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia sekaligus menetapkan Ir. Soeratin sebagai ketua umumnya.

Dari masa Soeratin Sosrosoegondo 1930 hingga Nurdin Halid 2011 persepakbolaan nasional terus berkembang walaupun perkembangan dunia persepakbolaan Indonesia ini mengalami pasang surut dalam kualitas pemain, kompetisi dan organisasinya. Akan tetapi olahraga yang dapat diterima di semua lapisan masyarakat ini tetap bertahan apapun kondisinya. PSSI sebagai induk dari sepakbola nasional ini memang telah berupaya membina timnas dengan baik,

menghabiskan dana milyaran rupiah, walaupun hasil yang diperoleh masih kurang membanggakan bagi masyarakat pencinta bola.

Hal kurang mambaggakan ini disebabkan pada cara pandang yang keliru. Untuk mengangkat prestasi Timnas, tidak cukup hanya membina Timnas itu sendiri, melainkan juga dua sektor penting lainnya yaitu kompetisi dan organisasi, sementara tanpa disadari kompetisi nasional kita telah tertinggal.

Padahal di era sebelum tahun 70-an, banyak pemain Indonesia yang bisa bersaing di tingkat internasional sebut saja era Ramang dan Tan Liong Houw, kemudian era Sucipto Suntoro dan belakangan era Ronny Pattinasarani hal ini di karnakan sudut pandang kepengurusan PSSI yang masih fokus terhadap tujuan utama nya yang membina dan menyalurkan pemain-pemain lokal agar setara dengan pemain asing. Yang tidak mencampuradukan urusan politik dan masalalah kepentingan pribadi ke dalam PSSI.

PSSI pun mewadahi pertandingan – pertandingan yang terdiri dari pertandingan di dalam negeri yang diselenggarakan oleh pihak perkumpulan atau klub sepakbola, pengurus cabang, pengurus daerah yang dituangkan dalam kalender kegiatan tahunan PSSI sesuai dengan program yang disusun oleh PSSI. Pertandingan di dalam negeri yang diselenggarakan oleh pihak ketiga yang mendapat izin dari PSSI. Pertandingan dalam rangka Pekan Olahraga Daerah (PORDA) dan pekan Olah Raga Nasional (PON). Pertandingan – pertandingan lainnya yang mengikutsertakan peserta dari luar negeri atau atas undangan dari luar negeri dengan ijin PSSI.

Kepengurusan PSSI pun telah sampai ke pengurusan di tingkat daerah – daerah di seluruh Indonesia . Hal ini membuat Sepakbola semakin menjadi olahraga dari rakyat dan untuk rakyat.

Dalam perkembangannya PSSI telah menjadi anggota FIFA sejak tanggal
1 November 1952 pada saat congress FIFA di Helsinki. Setelah diterima menjadi anggota FIFA, selanjutnya PSSI diterima pula menjadi anggota AFC (Asian Football Confederation) tahun 1952, bahkan menjadi pelopor pula pembentukan AFF (Asean Football Federation) di zamanha memperbaiki kepengurusan Kardono, sehingga Kardono sempat menjadi wakil presiden AFF untuk selanjutnya Ketua Kehormatan.

Lebih dari itu PSSI tahun 1953 memantapkan posisinya sebagai organisasi yang berbadan hukum dengan mendaftarkan ke Departement Kehakiman dan mendapat pengesahan melalui SKep Menkeh R.I No. J.A.5/11/6, tanggal 2

Februari 1953, tambahan berita Negara R.I tanggal 3 Maret 1953, no 18. Berarti PSSI adalah satu – satunya induk organisasi olahraga yang terdaftar dalam berita Negara sejak 8 tahun setelah Indonesia merdeka.

SEJARAH BOLA BASKET

SEJARAH BOLA BASKET 
Permainan bola basket diciptakan oleh Prof. Dr. James A. Naismith salah seorang guru pendidikan jasmani Young Mens Christian Association (YMCA) Springfield, Massachusets, Amerika Serikat pada tahun 1891. Gagasan yang mendorong terwujudnya cabang olahragabaru ini ialah adanya kenyataan bahwa waktu itu keanggotaan dan pengunjung sekolah tersebut kian hari kian merosot. Sebab utamanya adalah rasa bosan dari para anggota dalam mengikuti latihan olahraga Senamyang gerakannya kaku. Di samping itu kebutuhan yang dirasakan pada musim dingin untuk tetap melakukan olahraga yang menarik semakin mendesak.

Dr. Luther Gullick, pengawas kepala bagian olahraga pada sekolah tersebut menyadari adanya gejala yang kurang baik itu dan segera menghubungi Prof. Dr. James A. Naismith serta memberi tugas kepadanya untuk menyusun suatu kegiatan olahraga yang baru yang dapat dimainkan di ruang tertutup pada sore hari. Dalam menyambut tugasnya itu Nasimith menyusun suatu gagasan yang sesuai dengan kebutuhan ruang tertutup yakni permainan yang tidak begitu keras, tidak ada unsur menendan, menjegal dan menarik serta tidak sukar dipelajari. Langkah pertama, diujinya gubahan dari permainan Footbal, Baseball, Lacrose dan Sepakbola. Tetapi tidak satupun yang cocok dengan tuntutannya. Sebab disamping sulit dipelajari, juga permainan tersebut masih terlalu keras untuk dimainkan di ruangan tertutupyang berlampu. Dari hasil percobaan yang dilakukan itu Naismith akhrinya sampai pada kesimpulan bahwa permainan yang baru itu harus mempergunakan bola yang bentuknya bulat, tidak menjegal, dan harus menghilangkan gawang sebagai sasarannya. Untuk menjinakkan bola sebagai pengganti menendang dilakukan gerakan mengoper dengan tangan serta menggiring bola (dribbling) sebagai puncak kegairahan, gawang diganti dengan sasaran lain yang sempit dan terletak di atas para pemain, sehingga dengan obyek sasaran yang demikian pengutamaan tembakan tidak terletak pada kekuatan seperti yang terjadi pada waktu menendang, melainkan pada ketepatan menembak.Semula Naismith akan menggunakan kotak kayu untuk sasaran tembakan tersebut, tetapi berhubung waktu percobaan dilakukan yang ada hanya keranjang (basket) buah persik yang kosong, maka akhirnya keranjang itulah dijadikan sasaran tembakan. Dari perkataan basket ini kemudian permainan baru yang ditemukan Prof. Dr. James A. Naismith tersebut dinamakan Basketball.

Beberapa catatan penting dalam perkembangan bola basket. 
Tahun 1891 : Prof. Dr. James A. Naismith menemukan permainan Bola Basket 
Tahun 1892 : Untuk pertama kali Naismith memperkenalkan permainan Bola Basket kepada masyarakat (Amerika) 
Tahun 1894 : Prof. Dr. James A. Naismith dan Dr. Luther Gullick untuk pertama kali mengeluarkan peraturan permainan resmi. 
Tahun 1895 : Kata Basketball secara resmi diterima dan dimasukkan ke dalam perbendaharaan bahasa Inggris. 
Tahun 1913 : Untuk pertama kali diadakan Kejuaraan Bola Basket Far Eastern. Pada kesempatan tersebut regu Phillipina mengalahkan Cina. 
Tahun 1918 : Tentara pendudukan Amerika dan anggota YMCA memperkenalkan permainan Bola Basket di banyak negara Eropa. 
Tahun 1919 : Dalam Olympiade Militer di Joinville, permainan Bola Basket termasuk salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan.Tahun 1932 : Untuk pertama kali diadakan Kongres Bola Basket bertempat di Jenewa Swiss. Para peserta yang hadir adalah : Argentina, Cekoslowakia, Yunani, Italia, Portugal, Rumania dan Swiss. Keputusan penting yang dihasilkan adalah terbentuknya Federasi Bola Basket Internasional - Federation International de Basketball (FIBA) 
Tahun 1933 : Untuk pertama kali diselnggarakan kejuaraan Dunia Bola Basket Mahasiswa di kota Turin - Italia. 
Tahun 1935 : Dalam Kongres Komite Olympiade Internasional, Bola Basket diterima sebagai salah satu nomor pertandingan Olympiade. 
Tahun 1936 : Untuk pertama kali Bola Basket dipertandingkan dalam Olympiade Berlin. Dua puluh dua negara ikut serta. Juaranya adalah USA, Kanada dan Meksiko. 
Tahun 1939 : Prof. Dr. James A. Naismith meninggal dunia. 

Mengenal permainan bola basket 
Mengenal Permainan Bola Basket Permainan Bola Basket dimainkan oleh dua regu yang berlawanan. Tiap-tiap regu yang melakukan permainan di lapangan terdiri dari 5 orang, sedangkan pemain pengganti sebanyak-banyaknya 7 orang, sehingga tiap regu paling banyak terdiri dari 12 orang pemain. Permainan Bola Basket dimainkan di atas lapangan keras yang sengaja diadakan untuk itu, baik di lapangan terbuka maupun di ruangan tertutup. Pada hakekatnya, tiap-tiap regu mempunyai kesempatan untuk menyerangdan memasukkan bola sebanyak-banyaknya keranjang sendiri untuk sedapat mungkin tidak kemasukan. Secara garis besar permainan Bola Basket dilakukan dengan mempergunakan tiga unsur teknik yang menjadi pokok permainan, yakni : mengoper dan menangkap bola (pasing and catching), menggiring bola (dribbling), serta menembak (shooting). Ketiga unsur teknik tadi berkembang menjadi berpuluh-puluh teknik lanjutan yang memungkinkan permainan Bola Basket hidup dan bervariasi. Misalnya, dalam teknik mengoper dan menangkap bola terdapat beberapa cara seperti : tolakan dada (chest pass), tolakan di atas kepala (overhead pass), tolakan pantulan (bounce pass),dan lain sebagainya. Dalam rangkaian teknik ini, dikenal pula sebutan pivot yakni pada saat memegang bola, salah satu kaki bergerak dan satu kaki lainnya tetap di lantai seabgai tumpuan. Teknik menggiring bola berkaitan erat dengan traveling, yakni gerakan kaki yang dianggap salah karena melebihi langkah yang ditentukan. Juga double dribble suatu gerakan tangan yang dilarang karena menggiring bola dengan kedua tangan atau menggiring bola untuk kedua kalinya setelah bola dikuasai dengan kedua tangan. Teknik menembak berkaitan erat dengan gerak tipu, lompat, blok dan lain sebagainya. Begitu banyak teknik permainan yang harus dikuasai oleh seorang pemain Bola Basket, sehingga sulit untuk diperinci satu-persatu dalam tulisan ini. Namun demikian, dengan menguasai ketiga unsur teknik pokok tadiserta beberapa lanjutannya, seseorang sudah dapat melakukan permainan Bola Basket, walaupun tidak sempurna.

Ketentuan bermain dan bertanding. 
Seperti telah diuraikan di atas permainan Bola Basket dimainkan oleh dua regu, masing-masing terdiri dari 5 orang pemain. Wasit yang memimpin terdiri dari 2 orang yagn senantiasa berganti posisi. Waktu bermain yang resmi 2 x 20 menit bersih, tidak termasuk masa istirahat 10 menit, time out, dua kali bagi masing-masing regu tiap babak selama 1 menit, saat pergantian pemain dan atau peluit dibunyikan wasit karena bola ke luar lapangan atau terjadi pelanggaran/kesalahan seperti foul dan travelling. Apabila dalam pertandingan resmi (yang dimaksud disini bukan pertandingan persahabatan) terjadi pengumpulan angka sama, waktu diperpanjang sekian babak (tiap 5 menit) sampai terjadi perbedaan angka.Khusus untuk permainan Mini Basket yang diperuntukkan anak-anak di bawah umur 13 tahun, diberlakukan peraturan tersendiri yang agak beda, antara lain : bola yang dipergunakan lebih kecil dan lebih ringan, pemasangan keranjang yang lebih rendah, waktu pertandingan 4 x 10 menit dengan 3 kali istirahat dan lainnya lagi seperti dalam hal penggantian pemain. Peraturan permainan yang dipergunakan sangat tergantung daripada peraturan PERBAIS/FIBA mana yang berlaku. Misalnya pada tahun 1984, peraturan permainan yang berlaku adalah Peraturan Permainan PERBASI/FIBA tahun 1980 - 1984.

Alat-Alat Perlengkapan dan Lapangan Berdasarkan Peraturan Permainan PERBASI/FIBA tahun 1980 - 1984, alat-alat perlengkapan dan lapangan terdiri dari : 
Bola Basket 

Terbuat dari karet yang menggelembung dan dilapisi sejenis kulit, karet atau sintesis. Keliling bola tidak kurang dari 75 cm dan tidak lebih dari 78 cm, serta beratnya tidak kurang dari 600 gram dan tidak lebih dari 650 gram. Bola tersebut dipompa sedemikan rupa sehingga jika dipantulkan ke lantai dari ketinggian 180 cm akan melambung tidak kurang dari 120 cm tidak lebih dari 140 cm. 

Perlengkapan Teknik 
Untuk pencatatan waktu diperlukan sedikitnya 2 buah stopwatch, satu untuk pencatat waktu dan satu lagi untuk time out. 
Alat untuk mengukur waktu 30 detik. 
Kertas score (Scoring Book) untuk mencatat/merekam pertandingan. 
Isyarat - scoring board, tanda kesalahan perorangan yakni angka 1 sampai dengan 5, serta bendera merah dua buah untuk kesalahan regu. 

Panjang Lapangan Basket
Lapangan Permainan Berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 26 m dan lebar 14 m yang diukur dari pinggir garis batas. Variasi ukuran diperolehkan dengna menambah atau mengurangi ukuran panjang 2 m serta menambah atau mengurangi ukuran lebar 1 m. Di lapangan ini terdapat beberapa ukuran seperti : lingakaran tengah, dan lain sebagainya yang secara jelas dan terperinci akan diuraikan dalam gambar di bawah nanti. 

Papan Pantul Papan pantul dibuat dari kayu keras setebal 3 cm atau dari bahan transparant yang cocok. Papan pantul berukuran panjang 180 cm dan lebar 120 cm.. Tinggi papan, 275 cm dari permukaan lantai sampai ke bagian bawah papan, dan terletak tegak lurus 120 cm jaraknya dari titik tengah garis akhir lapangan. (Perincian selengkapnya, lihat gambar). 

Keranjang Keranjang terdiri dari Ring dan Jala. Ring tersebut dari besi yang keras dengan garis tengah 45 cm berwarna jingga. Tinggi ring 305 cm dari permukaan lantai dan dipasang dipermukaan papan pantaul dengan jarak 15 cm. Sedangkan jala terdiri dari tambah putih digantung pada ring. Panjang jala 40 cm.

MANAJEMEN ORGANISASI OLAHRAGA PRESTASI

MANAJEMEN ORGANISASI OLAHRAGA PRESTASI 
Hakekat Olahraga Prestasi 
Dengan melihat nilai strategis olahraga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka pengembangan olahraga prestasi di Indonesia secara sistematik, tersistem, dan terstruktur harus segera dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai kondisi aktual, situasi, dan kendala yang ada (KONI Pusat, 2003 : 21). 

Prinsip-prinsip universal untuk menciptakan seorang juara harus dilakukan dimana saja khususnya pada program latihan atlet berdasarkan informasi ilmu pengetahuan dan olahraga yang melibatkan keahlian multidisiplin. Menurut Dasar Gerakan Nasional Garuda Emas 1997-2007 (2003 : 22), strategi dasar tersebut meliputi : 

Intensifikasi koordinasi antar instansi dalam pembinaan olahraga prestasi, khususnya antara Depdiknas, Depdagri, dan KONI dilakukan Outsourcing (tidak sendiri). 
Tidak mempertentangkan antara latihan/kompetisi dengan kegiatan akademi atau pekerjaan. 

Menerapkan prinsip-prinsip pembinaan olahraga prestasi yang berlandaskan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi secara konsisten dan konsekuen secara bertahap dan berkesinambungan. 
Melakukan desentralisasi yang sinkron dengan sistem pengawasan terpadu. 

Menerapkan azas pembinaan olahraga prioritas dengan konsep PPLP, Kelas Olahraga, Klub Olahraga, SLTP/SMU Unggulan seperti Ragunan yang telah dikembangkan Depdiknas. 

Kelima strategi dasar tersebut merupakan inti dari Gerakan Nasional Garuda Emas 1997-2007, dengan kata kunci dalam olahraga prestasi adalah : 
Pembinaan dilakukan sejak usia dini; 

Sistem kompetisi yang cukup; 
Pelatih handal; 
Iptek keolahragaan; 
Dana; 
Jaminan masa depan; 
Organisasi pembinaan olahraga prestasi yang profesional. 
Dari sembilan kata kunci dalam pembinaan prestasi olahraga tersebut salah satu faktor keberhasilan dalam pencapaian prestasi atlet adalah organisasi pembinaan olahraga prestasi di Indonesia, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI, 2003 : 50) bahwa salah satu bentuk komitmen terhadap pembangunan olahraga di Indonesia adalah Penguatan Kelembagaan dan Kapabilitas Manajemen. 

Penguatan kelembagaan dan kapabilitas manajemen bertujuan untuk meningkatkan daya saing yang semakin merosot berdasarkan parameter relatif (distribusi medali dalam Sea Games dan Asian Games), maka diperlukan peningkatan upaya dan kekuatan komponen-komponen strategis seperti pemanduan bakat dan sistem promosi atlet muda; pengadaan dan peningkatan standar kompetensi pelatih; peningkatan sarana dan prasarana olahraga baik dalam kualitas maupun kuantitas; dan sekaligus memperbaiki mutu pusat-pusat pelatih; menata sistem pelatihan dan kompetensi; meluncurkan program pendukung berupa penguatan sistem intensif dan rasa aman (perawatan rumah sakit, asuransi, dll.). 

Kekuatan dan Kelemahan Organisasi 
Kesehatan suatu organisasi merujuk pada kondisi umum yang tampak dari kemampuan organisasi untuk berjalan sepenuhnya sesuai dengan visi dan misinya. 

Salusu (2000 : 291) mengatakan bahwa kapabilitas organisasi adalah konsep yang dipakai untuk menunjuk pada kondisi internal yang terdiri atas dia faktor stratejik, yaitu kekuatan dan kelemahan organisasi. 

Kekuatan adalah situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif yang memungkinkan organisasi memiliki kemampuan stratejik dalam mencapai sasarannya. 

Kelemahan adalah kondisi ketidakmampuan internal yang menyebabkan organisasi tidak dapat mencapai sasarannya. Apabila faktor kelemahan sangat dominan, ada kemungkinan kekuatan yang dimiliki organisasi berubah menjadi kelemahan. Sebaliknya kekuatan yang ada dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kelemahan (Higgin yang dikutip Salusu, 2000 : 291). 

Kekuatan Organisasi 
Beberapa elemen penting yang dipandang sebagai kekuatan dari sudut pandang organisasi antara lain : struktur organisasi yang rapi dengan penjabaran tugas dan tanggungjawab yang jelas dengan jarak kendali yang memadai sehingga semua staf pengurus memahami tugas-tugasnya dengan baik, serta memahami makna pelayanan yang bermutu. 

Faktor lain yang menjadi kekuatan organisasi adalah lokasi yang strategis dengan kemudahan transportasi dan komunikasi dengan berbagai unsur terkait. 

Pimpinan yang kuat dengan visi yang jelas serta ide-ide yang berbobot juga merupakan modal yang ampuh bagi organisasi dalam memanfaatkan sumber daya yang terbatas (Salusu, 2000 : 292). 

Dalam organisasi olahraga prestasi dari sudut pandang sumber daya manusia, yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian prestasi adalah atlet yang potensial dan pelatih yang profesional. Kedua faktor dominan ini merupakan kunci utama keberhasilan proses pembinaan prestasi yang ditunjang oleh faktor-faktor pendukung lainnya seperti fasilitas dan dana yang memadai. 

Kelemahan Organisasi 
Kelemahan suatu organisasi tidak boleh diabaikan sepanjang ada peluang untuk melakukan perbaikan, misalnya kurangnya tenaga pelatih yang profesional tidak dibiarkan begitu saja, tetapi perlu diambil keputusan stratejik untuk menanggulanginya. Keputusan dapat berupa pengiriman sejumlah pelatih untuk mengikuti pendidikan lanjut atau penataran pelatih ke tingkat yang lebih tinggi untuk meningkatkan profesionalisme, atau dapat juga menyelenggarakan pelatihan dengan mengundang kalangan perguruan tinggi, tenaga ahli dari Pengurus Besar atau dari Federasi Olahraga Internasional. 

Kelemahan-kelemahan pada umumnya dirasakan oleh suatu organisasi antara lain lokasi yang jauh dari jangkauan fasilitas umum, seperti jalan raya, telepon, listrik, dan air minum. Disamping itu dari segi sumberdaya kurangnya dana untuk mendukung berbagai program yang direncanakan atau kondisi keuangan organisasi yang tidak stabil. Selain itu kelemahan dapat bersumber dari terbatasnya tenaga terampil, kekurangmampuan memanfaatkan sumber daya yang ada, rendahnya komitmen pengurus, dan lemahnya kepemimpinan karena kurang mampu berpikir stratejik (Salusu, 2000 : 294). 

Kepemimpinan yang lemah dengan sendirinya tidak dapat memberikan perhatian kepada atlet, pelatih, pengurus, dan stake holder lainnya yang berkepentingan dalam pencapaian prestasi yang tinggi. 

Budaya organisasi yang positif dapat membangkitkan daya dorong sekaligus menjadi kekuatan organisasi yang dapat menggerakkan komitmen atlet, pelatih, dan pengurus untuk berprestasi. 

Salah satu akar kelemahan organisasi adalah tidak memiliki visi dan misi yang jelas dan kemudian terlihat jelas pada penjabaran ke dalam tujuan dan sasaran. Kalau visi dan misi organisasi kabur, tidak ada pegangan yang kokoh dalam mencapai tujuan organisasi secara sehat. 

Banyak kenyataan di organisasi olahraga prestasi dalam mencapai tujuan prestasi hanya dengan membeli pemain tanpa memikirkan dampak negarif dan mengabaikan proses pembinaan yang berkesinambungan secara teratur. Lebih menyedihkan lagi pencapaian prestasi dengan cara-cara yang bertentangan dengan filosofi dasar olahraga, yaitu dengan menyuap pemain, wasit, dan pengurus lawan tanding. 

Penelitian Yang Relevan 
Penelitian yang dilakukan oleh Nur Wachidin S. (2001), dengan judul Hubungan Manajemen Terhadap Prestasi SSB di Kabupaten Sleman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan terhadap prestasi olahraga SSB di Kabupaten Sleman tidak signifikan. Uji harga F hitung = 0,161 < F tabel 19,247. Adapun sumbangan masing-masing variabel adalah : (1) perencanaan = 17,4%, (2) pengorganisasian = 3,1%, (3) penggerakan = 0,8%, dan pengawasan = 3%. 

Penelitian yang dilakukan oleh Aprizal (1997) dengan judul : Keefektifan Penelitian Manajemen Koperasi Bagi Manajemen KUD di Kabupaten Kerinci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) keefektifan pelatih ditinjau dari segi pengetahuan manajer tentang manajemen sebesar 68,2% artinya kurang efektif, (2) keefektifan pelatihan dari segi kinerja manajer sebesar 68,2% artinya kurang efektif, (3) sedangkan pengalaman, pengetahuan, frekuensi, pelatihan, dan sikap mempunyai hubungan dengan kinerja manajer (nilai rho masing-masing : 0.88; 0.91; 0.86; 0.84). Hasil secara kualitatif menunjukkan bahwa : (1) metode penyampaian materi kurang tepat, (2) pengurus yang menjalankan fungsi dan tanggungjawab adalah pengurus yang menjalin koordinasi dengan sesama pengelola KUD, (3) pembina hanya menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya secara aktif terhadap KUD, (4) manajer yang bekerja mandiri adalah manajer yang sudah berpengalaman dan mengetahui fungsi dan tanggungjawabnya. 

METODOLOGI PENELITIAN 
Desain Penelitian 
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan menggunakan metode survei dengan teknik angket dan wawancara. 

Sasaran dan Subjek Penelitian 
Sasaran dalam penelitian ini adalah semua organisasi olahraga prestasi yang bernaung di bawah lingkup KONI Propinsi DIY, mulai dari Klub, Pengurus Cabang (Pengcab), Pengurus daerah (Pengda) KONI Kabupaten dan Kota se-Propinsi DIY. Sedangkan yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah : 10% dari jumlah atlet, 20% dari jumlah pengurus, dan 50% dari pelatih dan wasit se-DIY. Jumlah subjek untuk setiap Kabupaten/Kota ditetapkan 1.000 orang. Karena di DIY terdapat 4 Kabupaten dan 1 Kota maka subjek seluruhnya menjadi 5.000 orang. Cara pengambilan subjek penelitian ditetapkan bersama pengurus organisasi. 

Instrumen Penelitian 
Dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa angket dan wawancara yang disusun berdasarkan fungsi-fungsi manajemen dalam organisasi. 

Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data 
Data dikumpulkan dengan cara memberikan angket kepada pengurus, pelatih, wasit, dan atlet yang sudah ditetapkan sebagai subjek penelitian. Untuk meyakinkan keakuratan data yang dikumpulkan melalui angket dilakukan wawancara terhadap perwakilan dari pengurus, pelatih, wasit, dan atlet yang telah dijadikan subjek. 

Data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif dari hasil angket dan wawancara terhadap responden. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran global mengenai kinerja organisasi melalui penilai terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen organisasi di organisasi olahraga prestasi se-DIY.

DASAR - DASAR PENGERTIAN ILMU OLAHRAGA

DASAR-DASAR PENGERTIAN ILMU OLAHRAGA 
A. Pengertian filsafat : 
menurut kamus 
filsafat : cinta kepada kebijaksanaan dengan cara intelektual dan disiplin moral 
filsafat : suatu studi dari sebab-sebab dan hokum yang mendasari kenyataan 
filsafat : suatu system bagi pedoman hidup ( The Americn Heritage Dictionary) 

menurut Es Ames 
Merumuskan filsafat sebagai “A comprehensive view of like and it’s meaning, upon the basis of the result of the various science”, tersimpul dalam definisi di atas adalah pengertian “Phylosophy is the mother of the science” dan “Synoptic thinking” atau metode berpikir sinoptis. 

Menurut J.A Leighton 
Mendefinisikan filsafat sebagai “A world view, or reasoned conception of the whole cosmos, and a life view, or doctrine of the valves, meaning and purpose of human life”. 

Menurut Theodore Brameld 
Menyatakan definisi filsafat adalah “The discipline concerned with the formulation of procise meaning”.
 
Menurut Hardi Titus 
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang biasanya diterima secara kritis, suatu proses kritik/pemiluran terhadap kepercayaan dan sikap yang kita junjung tinggi, usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, analisa logis dari bahasan serta penjelkasan tentang arti konesep, sekumpulan problema-problema yang langsung mendapatkan perhatian manusia dan dicarikan jawabannya untuk ahli filsafat (Jalaludin dan Said,1999:9). 

Menurut Harun Nasution 
Filsafat adalah berpikir tata tertib (logika) bebas (tidak terikat) pada tradisi dan sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalan (Nasution, 1973:24). 

Menurut Imam Barnadib 
Filsafat adalah pandangan yang menyeluruh dan sistematis. Menyeluruh karena filsafat bukan hanya sekedar pengetahuan, tetapi juga sesuatu pandangan yang menembus sampai dibalik pengetahuan itu sendiri. Dengan pandangan demikian, lebih terbuka kemungkinan untuk menemukan hubungan dan pertalian antara semua unsure yang dipertinggi dengan mengarahkan perhatian dan kedalaman mengenai kebijakan. Sistematis karena filsafat menggunakan berpikir secara sadar, teliti, dan teratur sesuai dengan hokum-hukum yang ada (Barnadib,1994:11-12). 

Menurut Socrates (470-399 SM) 
Menyatakan bahwa pengertian filsafat adalah pengetahuan sejati.
Jadi pengertian filsafat menurut pendapat saya adalah suatu pandangan yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup untuk menghadapi berbagai masalah agar kita bias menjadi manusia yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

B. Pengertian Pendidikan
1. Menurut Jhon Dhewey pendidikan adalah proses pembentukan kecaklapan- kecakapan fundamental secara intelektual, emosional, ke arah alam manusia.

2. Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajara dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinyadan masyarakat.

C. Pengertian Pendidikan Jasmani
1. Pendidikan Jasmani adalah suatu proses pendidikan melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi. Lingkungan belajar diatur secara seksama untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan seluruh ranah, jasmani, psikomotorik, kognitif, dan afektif setiap siswa.

2. Pendidikan Jasmani adalah fase dari program pendidikan keseluruhan yang memberikan kontribusi, terutama melalui pengalaman gerak, untuk pertumbuhan dan perkembangan secara utuh untuk tiap anak. Pendidikan jasmani didefinisikan sebagai pendidikan dan melalui gerak dan harus dilaksanakan dengan cara-cara yang tepat agar memiliki makna bagi anak. Pendidikan jasmani merupakan program pembelajaran yang memberikan perhatian yang proporsional dan memadai pada domain-domain pembelajaran, yaitu psikomotor, kognitif, dan afektif.
(Cahyo.Dwi.2009.Pendidikan Jasmani olahraga atau bermain.

D. Pengertian Olahraga
1. Menurut Cholik Mutohir Olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.

2. Menurut ensiklopedia Indonesia olahraga adalah gerak badan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan. Sedangkan dalam Webster’s New Collegiate Dictonary (1980) yaitu ikut serta dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus seperti berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic games di Amerika Serikat)
(Cahyo.Dwi.2009.Pendidikan Jasmani olahraga atau bermain.

E. Pengertian Filsafat Pendidikan Jasmani dan Olahraga
Jadi menurut pendapat saya pengertian filsafat pendidikan jasmani dan olahraga adalah suatu pandangan dalam proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional.dengan tujuan memperoleh pengetahuan dan meningkatkan prestasi manusia melalui aktivitas fiskal dan penghalusan kemahiran motorik.

ASESMEN DAN PSIKOLOGI KLINIS

ASESMEN DAN PSIKOLOGI KLINIS 
TUJUAN ASESMEN KLINIS
1. Klasifikasi diagnostik
Maksud dari klasifikasi (penegakan) diagnostik yang tepat antara lain :

Untuk menentukan jenis treatment yang tepat. Suatu treatment sangat bergantung pada bagaimana pemahaman klinisi terhadap kondisi klien termasuk jenis gangguannya (vermande, van den Bercken, & De Bruyn, 1996).

Untuk keperluan penelitian. Penelitian tentang berbagai penyebab suatu gangguan sangat bergantung kepada validitas dan reliabilitas diagnostik yang ditegakkan.

Memungkingkan klinisi untuk mendiskusikan gangguan dengan cara efektif bersama profesional yang lain (Sartorius et.al, 1996).

Diagnostic System : DSM-IV
Teknik pengklasifikasian gangguan mental sudah dilakukan sejak tahun 1900-an. Sedangkan secara formal baru pada tahun 1952 ketika APA (American Psychiatric Association) menerbitkan sistem klasifikasi diagnostik yang pertama kali, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Sistem ini kemudian terkenal dengan nama DSM I dan berlaku hingga tahun 1968, ketika WHO mengeluarkan International Classification of Diseases (ICD). DSM I kemudian direvisi dan disamakan dengan ICD, kemudian terbit DSM II. DSM I dan II menyeragamkan terminologi untuk mendeskripsikan dan mendiagnosa perilaku abnormal, tetapi tidak menjelaskan tentang aturan sebagai pedoman dalam memutuskan suatu diagnostik. Di dalamnya tidak terdapat suatu kriteria yang jelas bagi tiap gangguan sehingga agak sulit untuk mengklasifikasikan diagnostik. Pada tahun 1980 DSM II mengalami perubahan menjadi DSM III yang diikuti pada tahun 1987 dengan edisi revisi sehingga namanya menjadi DSM III-R. Dalam DSM III ini, sudah terdapat suatu kriteria operasional untuk masing-masing label diagnostik. Kriteria ini meliputi simtom utama dan simtom spesifik serta durasi simtom muncul. Disini juga digunakan pendekatan multiaxial, dimana klien dideskripsikan ke dalam lima dimensi (axis), yaitu :
a. Axis I : 16 gangguan mental major
b. Axis II : Berbagai problem perkembangan dan gangguan kepribadian 
Axis III : Gangguan fisik atau kondisi-kondisi yang mungkin berhubungan dengan gangguan mental 
Axis IV :Stressor psikososial (lingkungan) yang mungkin memberi kontribusi terhadap gangguan pada Axis I dan II 
e. Axis V : Rating terhadap fungsi psikologis, sosial dan pekerjaan dalam satu tahun terakhir

DSM III-R pun kemudian dikritik karena beberapa kriteria diagnostiknya masih terlalu samar dan masih membuka peluang untuk muncul bias dalam penggunaannya. Dan Axis II, IV dan V mempunyai kekurangan dalam pengukurannya. Akhirnya pada tahun1988, APA membentuk tim untuk membuat DSM IV. Di dalamnya tetap menggunakan pendekatan multiaxial seperti pada DSM III-R dan Axis I hanya dapat di tegakkan jika terdapat jumlah kriteria minimum dari daftar simtom yang disebutkan. Pada DSM IV ini terdapat beberapa modifikasi dalam terminologi sebelumnya dan skema rating yang digunakan pada beberapa axis. Sekarang ini telah diterbitkan DSM IV-TR (Text Revised). Sampai saat ini DSM IV dan DSM IV-TR digunakan sebagai pedoman klinisi dan profesional terkait untuk menentukan diagnostik.

Multiaxial DSM IV :
a. Axis I : Clinical Disorders, Other Conditions That May Be a Focus of Clinical Attentions
b. Axis II : Personality Disorders, Mental Retardation
c. Axis III : General Medical Conditions
d. Axis IV : Psychosocial and Environtmental Problems
e. Axis V : Global Assessment of Functioning (GAF)

2. Deskripsi
Para klinisi beranggapan bahwa untuk memahami content dari perilaku klien secara utuh maka harus mempertimbangkan juga tentang context sosial, budaya dan fisik klien. Hal itu menyebabkan asesmen diharapkan dapat mendeskripsikan kepribadian seseorang secara lebih utuh dengan melihat pada person-environtment interactions. Dalam fungsinya sebagai sarana untuk melakukan deskripsi terhadap kepribadian seseorang secara utuh, di dalam asesmen harus terdapat antara lain : motivasi klien, fungsi intrapsikis, respon terhadap tes, pengalaman subjektif, pola interaksi, kebutuhan (needs) dan perilaku. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif tersebut memudahkan klinisi untuk mengukur perilaku pra treatment, merencanakan jenis treatment dan mengevaluasi perubahan perilaku pasca treatment.

3. Prediksi
Tujuan asesmen yang ketiga adalah untuk memprediksi perilaku seseorang. Misalnya klinisi diminta oleh perusahaan, kantor pemerintah atau militer untuk menyeleksi seseorang yang tepat bagi suatu posisi kerja tertentu. Dalam kasus tersebut, klinisi akan melakukan asesmen dengan mengumpulkan dan menguji data deskriptif yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan prediksi dan seleksi. 

Klinisi kadang dihadapkan pada situasi untuk memprediksi hal-hal yang berbahaya, misalnya pertanyaan seperti “Apakah si A akan bunuh diri ?”, “Apakah si B tidak akan menyakiti orang lain setelah keluar dari RS?”. Pada saat itu klinisi harus menentukan jawaban “ya” atau “tidak”. Prediksi klinisi tentang “berbahaya” atau “tidak berbahaya” dapat dievaluasi dengan empat kemungkinan jawaban. 

a. True positive, jika prediksi klinisi berbahaya dan ternyata klien menunjukkan perilaku berbahaya.
b. True negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya dan ternyata klien menunjukkan perilaku yang tidak berbahaya.
c. False negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku berbahaya.
d. False positive, jika prediksi klinisi berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku tidak berbahaya.

COLLECTING ASSESSMENT DATA
· Bagaimana seharusnya kita mencari tahu tentang hal itu ?

SUMBER ASESMEN DATA
Ada empat macam yaitu : interview, tes, observasi dan life record.

1. Interview
Interview merupakan dasar dalam asesmen dan merupakan sumber yang sangat luas. Ada beberapa kelebihan interview antara lain: 
a. Merupakan hal biasa dalam interaksi sosial sehingga memungkinkan untuk mengumpulkan sampel tentang perilaku verbal atau non verbal individu bersama-sama.
b. Tidak membutuhkan peralatan atau perlengkapan khusus dan dapat dilakukan dimanapun juga.
c. Mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Klinisi bebas untuk melakukan inquiry (pendalaman) terhadap topik pembicaraan yang mungkin dapat membantu proses asesmen.

Tetapi interview dapat terdistorsi oleh karakteristik dan pertanyaan interviewer, karakteristik klien dan oleh situasi pada saat interview berlangsung.

2. Tes
Seperti interview, tes juga memberikan sampel perilaku individu, hanya saja dalam tes stimulus yang direspon klien lebih terstandardisasikan daripada interview. Bentuk tes yang sudah standar tersebut membantu untuk mengurangi bias yang mungkin muncul selama proses asesmen berlangsung. Respon yang diberikan biasanya dapat diubah dalam bentuk skor dan dibuat analisis kuantitatif. Hal itu membantu klinisi untuk memahami klien. Skor yang didapat kemudian diinterpretasi sesuai dengan norma yang ada. 

3. Observasi
Tujuan observasi adalah untuk mengetahui lebih jauh di luar apa yang dikatakan klien. Banyak yang mempertimbangkan bahwa observasi langsung mempunyai tingkat validitas yang tertinggi dalam asesmen. Hal itu berhubungan dengan kelebihan observasi antara lain:
a. Observasi dilakukan secara langsung dan mempunyai kemampuan untuk menghindari permasalahan yang muncul selama interview dan tes seperti masalah memori, jenis respon, motivasi dan bias situasional. 

b. Relevansinya terhadap perilaku yang menjadi topik utama. Misalnya perilaku agresif anak dapat diobservasi sebagaimana perilaku yang ditunjukkan dalam lingkungan bermain dimana masalah itu telah muncul.

c. Observasi dapat mengases perilaku dalam konteks sosialnya. Misalnya untuk memahami seorang pasien yang kelihatan depresi setelah dikunjungi keluarganya, akan lebih bermakna dengan mengamati secara langsung daripada bertanya, “Apakah Anda pernah depresi?”.

d. Dapat mendeskripsikan perilaku secara khusus dan detail. Misalnya untuk mengetahui tingkat gairah seksual seseorang dapat diobservasi dengan banyaknya cairan vagina yang keluar atau observasi melalui bantuan kamera.

4. Life record
Asesmen yang dilakukan melalui data-data yang dimiliki seseorang baik berupa ijazah sekolah, arsip pekerjaan, catatan medis, tabungan, buku harian, surat, album foto, catatan kepolisian, penghargaan, dsb. Banyak hal dapat dipelajari dari life record tersebut. Pendekatan ini tidak meminta klien untuk memberi respon yang lebih banyak seperti melalui interview, tes atau observasi. Selama proses ini, data dapat lebih terhindar dari distorsi memori, jenis respon, motivasi atau faktor situasional. Contohnya, klinisi ingin mendapatkan informasi tentang riwayat pendidikan klien. Data tentang transkrip nilai selama sekolah mungkin dapat lebih memberikan informasi yang akurat tentang hal itu daripada bertanya ,”Bagaimana saudara di sekolah?”. Buku harian yang ditulis selama periode kehidupan seseorang juga dapat memberikan informasi tentang perasaan, harapan, perilaku atau detail suatu situasi yang mana hal itu mungkin terdistorsi karena lupa selama interview. Dengan merangkum informasi yang di dapat tentang pikiran dan tingkah laku klien selama periode kehidupan yang panjang, life records memberikan suatu sarana bagi klinisi untuk memahami klien dengan lebih baik.

PROCESSING ASSESSMENT DATA
· Bagaimana seharusnya data-data tersebut dikombinasikan ?
· Bagaimana asesor dapat meminimalkan bias selama interpretasi data ?

Didasarkan pada teori apa yang akan digunakan : psikoanalisa, behavioral atau fenomenologi.

Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya dalam asesmen adalah menentukan arti dari data tersebut. Jika informasi tersebut sekiranya berguna dalam pancapaian tujuan asesmen, maka informasi itu akan dipindahkan dari data kasar menjadi format interpretatif. Langkah tersebut biasanya disebut pemrosesan data asesmen atau clinical judgment.

Klinisi cenderung melihat data asesmen melalui tiga cara yaitu : sebagai sampel, korelasi atau tanda (sign). Contoh : Seorang laki-laki menelan 20 tablet obat penenang sebelum tidur tadi malam di sebuah hotel, tapi berhasil diselamatkan oleh petugas kebersihan yang akhirnya membawanya ke RS.

1. Data dilihat sebagai sampel dari perilaku klien. Kemungkinan judgment :
· Klien mempunyai cara potensial untuk melakukan pembunuhan secara medis
· Klien tidak ingin diselamatkan sebab tidak ada seorangpun yang tahu tentang usaha bunuh diri tersebut sebelum hal itu terjadi.
· Dalam situasi yang sama, klien mungkin akan mencoba bunuh diri lagi.

Disini dapat dilihat, bahwa data berupa usaha bunuh diri dilihat sebagai contoh dari apa yang dilakukan klien dalam situasi seperti itu. Tidak ada usaha untuk mengetahui mengapa dia mencoba bunuh diri. Jika dilihat sebagai sampel, akan didapat kesimpulan tingkat rendah. Teori yang mendasarinya adalah behavioral.

2. Data dilihat sebagai korelasi dengan aspek lain dalam hidup klien. Kemungkinan judgment :
· Klien sepertinya seorang lelaki setengah baya yang masih single atau bercerai dan mengalami kesepian.
· Klien saat itu mungkin mengalami depresi.
· Klien kurang mendapatkan dukungan emosi dari teman dan keluarganya.

Ada kombinasi antara : 1). Fakta tentang perilaku klien. 2). Pengetahuan klinisi tentang apa yang sekiranya dapat dikorelasikan dengan perilaku klien. Disini kesimpulan yang diambil berada pada tingkat yang lebih tinggi. Kesimpulannya didasarkan pada data-data pendukung yang ada di luar data asli seperti hubungan antara bunuh diri, usia, jenis kelamin, dukungan sosial, dan depresi. Semakin kuat pemahaman terhadap hubungan antar variabel, maka kesimpulan yang di dapat semakin akurat. Pendekatan ini bisa didasarkan pada beragam teori.

3. Data dilihat sebagai tanda (sign) yang lain, untuk mengetahui karakteristik kilen yang masih kurang jelas. Kemungkinan judgment :
· Dorongan agresif klien berubah menyerang diri sendiri.
· Perilaku klien merefleksikan adanya konflik intrapsikis.
· Perilaku minum obat merupakan manifestasi adanya kebutuhan untuk ditolong yang tidak disadarinya.

Kesimpulan yang didapat berada pada tingkat paling tinggi. Teori yang mendasari pendekatan ini adalah psikoanalisa atau fenomenologi.

COMMUNICATING ASSESSMENT DATA
· Siapa yang akan diberi laporan asesmen dan tujuannya apa ?
· Bagaimanakah asesmen akan mempengaruhi klien yang di ases ?

Hasil dari asesmen biasanya akan ditulis menjadi sebuah laporan asesmen. Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi suatu laporan asesmen yaitu : jelas, relevan dengan tujuan dan berguna.

1. Jelas
Kriteria pertama yang harus dipenuhi adalah laporan itu harus jelas. Tanpa kriteria ini, relevansi dan kegunaan laporan tidak dapat dievaluasi. Ketidakjelasan laporan psikologis merupakan suatu masalah karena kesalahan interpretasi dapat menyebabkan kesalahan pengambilan keputusan.

2. Relevan dengan tujuan
Laporan asesmen harus relevan dengan tujuan yang sudah ditetapkan pada awal asesmen. Jika tujuan awalnya adalah untuk mengklasifikasikan perilaku klien maka informasi yang relevan dengan hal itu harus lebih ditekankan. 

3. Berguna
Laporan yang ditulis diharapkan dapat memberikan sesuatu informasi tambahan yang penting tentang klien. Kadang terdapat juga laporan yang mempunyai validitas tambahan yang rendah. Misalnya klinisi menyimpulkan bahwa klien mempunyai kecenderungan agresifitas tinggi, tapi data kepolisian mencatat bahwa klien tersebut telah berulang kali ditahan karena kasus kekerasan. Informasi yang diberikan klinisi tidak memberikan suatu hal penting lainnya dari klien.

OUTLINE ASSESSMENT DATA
Psikoanalisa
I. Konflik
A. Persepsi diri
B. Tujuan
C. Frustrasi
D. Hubungan interpersonal
E. Persepsi lingkungan
F. Dorongan, dinamika
G. Kontrol emosi

Nilai stimulus sosial
A. Kemampuan kognitif
B. Faktor konatif
C. Tujuan
D. Peran sosial

Fungsi kognitif
A. Penurunan
B. Psikopatologi

Defenses
A. Represi
B. Rasionalisasi
C. Regresi
D. Fantasi
E. Dsb

Fenomenologi ; pendekatan subjektif dan cenderung mengikuti format umum asesmen.
I. Klien dari sudut pandang sendiri
II. Klien seperti yang direfleksikan dalam tes
III. Klien seperti yang dilihat klinisi

Cognitive-Behavioral
I. Deskripsi tentang penampilan fisik dan perilaku selama asesmen
II. Permasalahan 

A. Masalah saat ini
B. Latar belakang masalah
C. Situasi tertentu yang menentukan masalah
D. Variabel yang relevan

1. Aspek fisiologis
2. Pengaruh medis
3. Aspek kognitif yang menentukan masalah

Dimensi masalah
1. Durasi
2. Frekuensi
3. Keseriusan masalah

Konsekuensi masalah
1. Positif
2. Negatif 

Masalah yang lain (diobservasi oleh asesor, tidak dinyatakan oleh klien)
Aset individu
Target perubahan
Treatment yang direkomendasikan
Motivasi klien untuk treatment
Prognosis
Prioritas treatment
Harapan klien 

A. Penyelesaian masalah yang spesifik
B. Pada treatment secara umum

Yang dimaksud dengan Psikologi Olahraga

Yang dimaksud dengan Psikologi Olahraga 
Psikologi Olahraga
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya, mulai dari perilaku sederhana sampai yang kompleks. Perilaku manusia ada yang disadari, namun ada pula yang tidak disadari, dan perilaku yang ditampilkan seseorang dapat bersumber dari luar ataupun dari dalam dirinya sendiri.

Ilmu psikologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang lalu dikenal sebagai psikologi olahraga. Penerapan psikologi ke dalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa adanya hambatan dan factor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dengan kata lain, tujuan umum dari psikologi olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menampilkan prestasi optimal, yang lebih baik dari sebelumnya.

Psikologi olahraga merupakan hasil perkembangan dari psikologi umum. Menurut Khonstman (1951) yang dikutip Herman Subarjah (2000: 1) menyebutkan bahwa medan kajian psikologi adalah tingkah laku manusia dalam keadaan tertentu, misalnya manusia dalam keadaan panik dipelajari dalam psikologi massa, atau manusia dalam proses produksi misalnya dipelajari dalam psikologi industri. Sejalan dengan perkembangan waktu dan kebutuhan terhadap psikologi dalam olahraga, maka dikembangkan dan diterapkan psikologi olahraga.

Batasan dan pengertian psikologi olahraga, salah satunya dikemukakan oleh John D. Lawther, seorang guru besar pendidikan jasmani dari Pensylvania State University yaitu ” Sport psychologi is the study of human behavior in sport situation. It focusses on both learning and performance, and conciders both participans and spectator”. 

Secara bebas bisa diartikan bahwa psikologi olahraga adalah studi tentang tingkah laku manusia dalam situasi olahraga, focus kajiannya adalah pada belajar dan performa, dan memperhitungkan baik pelaku maupun penonton. Weinberg and gould (1999) mengartikan psikologi olahraga sebagai studi khusus mengenai manusia dan perilakunya dalam aktivitas olahraga dan latihan (ICSSPE, sport and exercise psikologi, hal. 161 bar. 3). Jadi, psikologi olahraga dapat diartikan sebagai psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga, meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi secara langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat mempengaruhi penampilan (performance) atlet tersebut.

Weinberg dan Gould (1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga. Beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis & Campbell, 1992) secara lebih tegas menjelaskan apa itu psikologi olahraga. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga:
1. mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu
2. memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya

Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk:
1. membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak
2. membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar
3. meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan 
4. memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).

Seraganian (1993) serta Willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Jelaslah kini bahwa psikologi olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk menang. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding.

Sejarah Psikologi Olahraga
Psikologi olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898. Norman Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap sendiri.

Baru tahun 1925 laboratorium psikologi olahraga pertama di Kawasan Amerika Utara berdiri. Pendirinya adalah Coleman Griffith dari Universitas Illinois. Griffith tertarik pada pengaruh faktor-faktor penampilan atletis seperti waktu reaksi, kesadaran mental, ketegangan dan relaksasi otot serta kepribadian. Dia lalu menerbitkan dua buah buku, The Psychology of Coaching (1926) buku pertama di dunia Psikologi Olahraga dan The Psychology of Athletes (1928). 

Sejarah Psikologi Olahraga di Indonesia
Kian tahun psikologi olahrga kian mengalami peningkatan kajian dan mengalami perkembangan yang berarti Seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.

Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 
1) Prinsip psikologi olahraga, 
2) Peningkatan performance dalam olahraga, 
3) Psikologi olahraga terapan, 
4) Psikologi senam.

Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.

PENGERTIAN HAKIKAT BEROLAHRAGA

PENGERTIAN HAKIKAT BEROLAHRAGA 
A. Berolahraga Merupakan Bagian dan Kebutuhan Hidup
Salah satu karakteristik makhluk hidup di dunia ini, termasuk manusia adalah melakukan gerakan. Antara manusia dan aktivitas fisik merupakan dua hal yang sulit atau tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak manusia pada jaman primitif hingga jaman moderen, aktivitas fisik atau gerak selalu melekat dalam kehidupan sehari-harinya. Berarti aktivitas fisik selalu dibutuhkan manusia.

Neilson (1978: 3) mengemukakan bahwa manusia berubah sangat sedikit selama 50.000 tahun yang berkaitan dengan organi­sasi tentang struktur dan fungsi yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa perubahan utama bukan pada manusianya, melainkan pada kebutuhan dan kemampuan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan besar di dalam ling­kungan alam dan lingkungan buatan manusia. Manusia berusaha memodifikasi lingkungannya dengan mencoba-coba, eksplorasi dan dengan eksploitasi.

Pada jaman primitif gerakan pada mulanya merupakan gejala emosional murni yang dilakukan manusia untuk kesenangan dan komunikasi dengan dewa. Selanjutnya, gerakan berkembang dari pelaksanaan gerak yang tidak terencana ke kondisi gerak yang hingar-bingar pada upacara seremonial dan komunikasi untuk kerja seni. Karena aktivitas gerak sangat penting baik untuk kelang­sungan hidup maupun komunikasi dengan dewa, maka aktivitas fisik tersebut merupakan yang terpenting untuk eksistensi manusia. Oleh karena itu, mereka mulai menyusun struktur geraknya ke dalam bentuk-bentuk yang bermanfaat, tepat dan sadar. Semua peristiwa penting dalam siklus kehidupan orang primitif yang memiliki makna praktis dan religius disimbulkan dalam gerakan-gerakan tubuh yang terstruktur. Di seluruh periode evolusinya, aktivitas fisik sangat penting untuk kelangsungan hidup dan tetap penting untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimum.

Harrow (1977: 5) mengemukakan bahwa ada tujuh pola gerak yang sangat penting untuk eksistensi orang primitif yang merupakan dasar gerakan keterampilan. Aktivitas gerak ini adalah inheren dalam diri manusia, yakni lari, lompat/loncat, memanjat, mengangkat, membawa, menggantung, dan melempar.

Hingga kini aktivitas fisik atau gerak, juga tidak dapat dipi­sah­kan dari kehidupan manusia, karena gerak dipandang sebagai kunci untuk hidup dan untuk keberadaan dalam semua bidang kehidupan. Jika manusia melakukan gerakan yang memiliki tujuan tertentu, maka ia mengkoordinasikan aspek-aspek kognitif, psiko­motor, dan afektif.

Secara internal, gerak manusia terjadi secara terus menerus, dan secara eksternal, gerak manusia dimodifikasikan oleh penga­laman belajar, lingkungan yang mengitari, dan situasi yang ada. Oleh karena itu, manusia harus disiapkan untuk memahami fisio­logis, psikologis dan sosiologis agar dapat mengenali dan secara efisien menggunakan komponen-komponen gerak secara keselu­ruhan. Dengan demikian, antara manusia dan aktivitas fisik tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. 

B. Olahraga tak Tergantikan Aktivitas Lain
Kemajuan ilmu dan teknologi telah memberikan berbagai perubahan perilaku dan pola hidup. Salah satu contoh praktis, adanya kemajuan dalam dunia transportasi; semula orang naik angkutan kereta kuda meningkat ke mobil, dari pesawat terbang meningkat ke pesawat jet yang mampu menjelajahi ruang angkasa. Secara umum hasil kemajuan ilmu dan teknologi telah banyak membuat hidup manusia lebih mudah dan ringan. Demikian juga dalam aktivitas kehidupan sehari hari sering dijumpai kebanyakan orang yang melakukan aktivitasnya serba mudah dan ringan, misalnya ke supermarket memilih naik mobil daripada berjalan kaki atau naik sepeda. Di supermarket pun ke sana ke mari melalui elevator (tangga berjalan), pergi ke kantor naik mobil bahkan parkirnya sangat dekat dengan pintu kantornya dan sebagainya.

Dari gambaran singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur aktivitas fisik tidak dominan sehingga telah membuat manusia lebih sedikit mempergunakan unsur fisiknya daripada unsur yang lain. Pendek kata, hasil perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi moderen secara tidak disadari menumbuhkan pola hidup inaktif (inactive life) atau sedentari (sedentary life), yakni kegiatan orang sehari-harinya tidak banyak memerlukan aktivitas fisik. Secara umum dapat dikatakan bahwa keadaan fisik menjadi pasif dan statis, artinya tidak segar baik jasmaniah maupun rohaniah. Kondisi ini antara lain sebagai akibat dari terus menerus menghadapi persoalan dan pekerjaan yang sama dan membosan­kan, lagi pula tugas pekerjaannya terlalu banyak membuat orang duduk atau diam, bahkan karena kesibukannya sering kali tidak mempunyai waktu atau kesempatan untuk melakukan aktivitas jasmani secara teratur.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa hampir semua akti­vitas manusia dapat digantikan dengan peralatan modern yang dapat mempermudah seseorang untuk melakukannya dengan efektif dan efisien. Namun, secara tidak disadari ada salah satu aktivitas jika diganti dengan peralatan atau sarana modern malah berdampak negatif, yaitu jika seseorang tidak berolahraga. Artinya aktivitas gerak digantikan atau dilakukan oleh peralatan atau sarana lain. Oleh karena itu, khusus untuk aktivitas jasmani atau olahraga harus dilakukan oleh setiap orang (dilakukan sendiri) dan tidak dapat digantikan dengan aktivitas apapun dan oleh siapapun. 

C. Berolahraga Mendorong Pola Hidup Aktif
Suatu aktivitas atau pekerjaan rutin yang kurang mendapat­kan gerak, bila tidak diimbangi dengan aktivitas yang dapat meng­gerakkan otot-otot atau organ-organ tubuh, biasanya akan mudah terkena gangguan kesehatan. Dalam kenyataannya pola hidup seden­tari (pola hidup tanpa aktivitas fisik) telah membawa kemunduran tingkat kesehatan dan kesegaran jasmani. Kondisi seperti ini memiliki faktor resiko yang lebih besar terhadap penyakit tertentu. 

Dampak pola hidup sedentari yang menjadi masalah kese­hatan adalah resiko penyakit jantung yang merupakan salah satu penyebab kematian di Amerika dewasa ini, bahkan lebih dari separoh disebabkan karena penyakit-penyakit kardiovaskuler, seperti serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan sejenisnya (Fox, Kirby, dan Fox, 1987: 5). Selanjutnya mereka juga mengatakan bahwa masalah kesehatan umum lainnya sebagai akibat kurang gerak adalah kegemukan (obesity). Ternyata timbulnya penyakit kardiovaskuler secara statistik ada kaitannya dengan faktor kegemukan. 

Oleh karena itu salah satu upaya dalam mengatasi masalah kesehatan tersebut adalah dengan berlatih olahraga secara teratur, karena dengan latihan olahraga yang teratur dapat mengurangi problem-problem kegemukan dan meningkatkan kemampuan jantung yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesegaran jasmaninya.

Manusia makin menyadari bahwa olahraga tak dapat dipisah­kan dari kehidupan manusia. Apalagi dengan majunya ilmu dan teknologi, olahraga makin dibutuhkan manusia untuk memelihara keseimbangan hidup.

Perkembangan dan persaingan pembangunan olahraga antar negara makin ketat dan keras, karena masing-masing negara sekarang ini makin menyadari akan pentingnya pembangunan olahraga bagi bangsanya, apalagi dalam era globalisasi sekarang ini.

Salah satu wahana dalam upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Insani adalah melalui pembangunan olahraga. Olahraga telah terbukti keampuhannya dalam turut serta membentuk manusia yang berkualitas. 

D. Berolahraga sebagai Perwujudan Rasa Syukur
Dengan memperhatikan pentingnya dan dampak berolahraga, serta sebaliknya dengan memperhatikan resiko bagi yang tidak berolahraga, maka bagi mereka yang memiliki pola hidup sedentari (artinya, bagi mereka yang tidak memanfaatkan anugerah “Nikmat” dari Yang Maha Kuasa dalam wujud tersedianya komponen-komponen produksi energi untuk “gerak”) dapat dikatakan terma­suk dalam golongan orang-orang yang kurang atau tidak bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.

Sebagai ilustrasi sebagaimana yang digambarkan oleh Starnes (1994: 27) yang menjelaskan bahwa proses tranformasi energi yang terjadi di dalam mitrokondria (organ sub seluler, tempat di mana energi ATP diproduksi) adalah suatu proses yang amat efisien. Kebutuhan sel dan jaringan akan ATP sangatlah tinggi, di mana volume ATP yang diperlukan selama 24 jam untuk orang dewasa dengan berat badan 68 kilogram kurang lebih 100.000 mmol ATP. Melalui proses “fosforilasi oksidatif” di dalam mitokondria, produk hidrolisis ATP (yaitu: ADP + Pi + E) dengan segera di “daur ulang” untuk membentuk kembali ATP.

Sangkot dalam kompas (1994: 11) menyatakan bahwa untuk kebutuhan seluruh tubuh, setiap hari kita membutuhkan 50-70 kg ATP, sedangkan untuk jantung saja 2-3 kg ATP. Harga ATP per kg saat ini 1.500 dollar AS, jadi setiaphari ATP yang diproduksi mitokon­dria mencapai nilai hampir 100.000 dola AS. Luar Biasa, di dalam tubuh kita ternyata terdapat suatu pabrik kimia dan biologi yang amat efisien.

Jika tidak terjadi proses “daur ulang” maka dibutuhkan konsumsi ATP harian + 50 kilogram sewaktu istirahat. Kita ketahui bahwa harga ATP per kg. pada tahun 1994 adalah US $ 1.500. Jadi setiap hari ATP yang diproduksi oleh mitokondria yang terdapat di dalam sel-sel tubuh mencapai nilai US $ 75.000. Seandainya kurs dolar Amerika hari ini Rp. 10.000,- per US dolar, maka tubuh kita dalam kondisi istirahat, membutuhkan dana sebesar 750 juta rupiah per hari. Hitung berapa umur kita sekarang (misalnya 54 tahun), artinya 54 x 360 hari = 19.440 hari. Dengan demikian - Rp. 750.000.000,- x 19.440 =Rp. 145.800.000.000,- (148.8 trilyun). Ini dalam kondisi istirahat, apalagi dalam keadaan beraktivitas (Subhanallah, Allah Maha Pemurah dan Penyayang).

Jika malas berolahraga, maka fungsi tubuh tidak dapat meme­lihara nikmat Tuhan ini. Dengan berolahraga, proses sistem tubuh tersebut, terutama yang berkaitan dengan produksi sistem energi, akan berfungsi secara efektif dan efisien, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, berolahraga secara teratur berarti merupakan perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Dalam arti, kita senantiasa berusaha dan memposisikan diri secara proporsional dan benar.

SISTEM PEMBANGUNAN DAN PEMBINAAN OLAHRAGA
Sistem adalah suatu keseluruhan atau keutuhan yang kom­pleks atau terorganisasi; suatu himpunan atau gabungan bagian-bagian yang membentuk keutuhan yang kompleks atau terpadu. Sistem merupakan seperangkat elemen-elemen yang saling ber­hu­bungan . 

Pembangunan olahraga pada dasarnya merupakan suatu pelaksanaan sistem. Sebagai indikator adalah terwujudnya prestasi olahraga. Prestasi olahraga merupakan perpaduan dari berbagai aspek usaha dan kegiatan yang dicapai melalui sistem pemba­ngun­an. Tingkat keberhasilan pembangunan olahraga ini sangat ter­gantung pada keefektifan kerja sistem tersebut. Makin efektif kerja sistem, maka akan makin baik kualitas yang dihasilkan, demikian juga sebaliknya.

Pembinaan dan pengembangan pada dasarnya adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing dan mengembangankan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras, dalam rangka memberikan pengetahuan dan keteram­pilan sesuai dengan bakat, kecenderungan/keinginan serta kemam­puan sebagai bekal untuk selanjutnya atas prakarsa sendiri me­nambah meningkatkan dan mengembangkan dirinya, sesama maupun lingkungannya ke arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusia yang optimal dan pribadi yang mandiri (Abdul Gafur, 1983:46)

Mengkaji sistem pembinaan olahraga di Indonesia pada hakikat­nya adalah mengkaji upaya pembinaan Sumber Daya Insani Indonesia. Dengan kata lain, upaya pembinaan ini tidak dapat dipisahkan dari upaya-upaya pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

Harre, Ed. (1982: 21) mengemukakan bahwa pembinaan olahraga yang dilakukan secara sistematik, tekun dan berkelan­jutan, diharapkan akan dapat mencapai prestasi yang bermakna. Proses pembinaan memerlukan waktu yang lama, yakni mulai dari masa kanak-kanak atau usia dini hingga anak mencapai tingkat efisiensi kompetisi yang tertinggi. Pembinaan dimulai dari program umum mengenai latihan dasar mengarah pada pengembangan efisiensi olahraga secara komprehensif dan kemudian berlatih yang dispesialisasikan pada cabang olahraga tertentu.

A. Olahraga kompetitif
Olahraga kompetitif yang dimaksud adalah berbagai kegiatan yang diarahkan untuk mencapai prestasi olahraga yang setinggi-tingginya. Olahraga prestasi biasanya digunakan sebagai alat per­juangan bangsa. Banyak negara yang memanfaatkan berbagai arena olahraga, seperti Olympic Games, atau Regional Games sebagai forum propaganda keunggulan bangsa dan memperlihatkan pem­bangunan bangsa di negaranya. 

Berhasilnya Indonesia meraih satu medali Perak melalui olah­­raga panahan pada Olympic Games di Seoul 1988 dan bebe­rapa medali emas, perak dan perunggu melalui cabang olahraga bulutangkis dan angkat besi ternyata mampu menunjukkan kepada dunia Internasional melalui prestasi olahraga. Peristiwa menarik yang lain adalah pada Olympic Games 1956 di Melbourne, Aus­tralia, tim sepakbola Indonesia mampu menahan tim sepakbola Rusia. Hanya setelah perpanjangan waktu, tim Indonesia menga­lami kekalahan. Dalam Olympic Games ini Rusia akhirnya sebagai juara. Bagi negara-negara yang memikirkan kesejahteraan rakyat­nya jauh ke depan, maka akan menempatkan olahraga pada urutan prioritas yang penting. Sejak kemerosatan prestasi olahraga Ame­rika dan Australia di arena Olympic Games, konggres dan parlemennya turut membahas bahkan berusaha mengatur pembina­an olahraga di negaranya masing-masing melalui rancangan undang-undang olahraga.

Penekanan pada peningkatan prestasi tidak hanya sekedar melakukan alih ketarampilan dari pelatih kepada atlet, melainkan merupakan upaya membina manusia seutuhnya. 

Sistem pembangunan olahraga yang digunakan di Indonesia adalah sistem piramida, yang meliputi tiga tahap, yaitu (1) pemas­salan; (2) pembibitan; dan (3) peningkatan prestasi.

Apabila model perencanaan ini dikaitkan dengan teori pira­mida yang terdiri dari (1) pemassalan; (2) pembibitan; dan (3) pening­katan prestasi, maka selanjutnya dapat dilihat dalam Gambar 1.

Pemassalan adalah mempolakan keterampilan dan kesegaran jasmani secara multilateral dan landasan spesialisasi. Pemassalan olahraga bertujuan untuk mendorong dan menggerakkan masya­rakat agar lebih memahami dan menghayati langsung hakikat dan manfaat olahraga sebagai kebutuhan hidup, khususnya jenis olah­raga yang bersifat mudah, murah, menarik, bermanfaat dan massal. Kaitannya dengan olahraga prestasi; tujuan pemassalan adalah melibatkan atlet sebanyak-banyaknya sebagai bagian dari upaya peningkatan prestasi olahraga. 

pertumbuhan dan perkembangan atlet.
1. Pemassalan Olahraga
Pemassalan olahraga merupakan dasar dari teori piramida dan sekaligus merupakan landasan dalam proses pembibitan dan peman­duan bakat atlet.

Pemassalan olahraga berfungsi untuk menumbuhkan kese­hatan dan kesegaran jasmani manusia Indonesia dalam rangka membangun manusia yang berkualitas dengan menjadikan olahraga sebagai bagian dari pola hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dalam pembangunan olahraga perlu selalu meningkatkan dan mem­perluas pemassalan di kalangan bangsa Indonesia dalam upaya membangun kesehatan dan kesegaran jasmani, mental dan rokhani masyarakat serta membentuk watak dan kepribadian, displin dan sportivitas yang tinggi, yang merupakan bagian dari upaya pening­katan kualitas manusia Indonesia. Pemassalan dapat pula berfungsi sebagai wahana dalam penelusuran bibit-bibit untuk membentuk atlet berprestasi.

Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyara­kat merupakan bentuk upaya dalam melakukan pemassalan olah­raga. Dalam olahraga prestasi, pemassalan seharusnya dimulai pada usia dini.

Bila dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, pemassalan sangat baik jika dimulai sejak masa kanak-kanak, teru­tama pada akhir masa kanak-kanak (6-12 tahun). Pada masa ini merupakan tahap perkembangan keterampilan gerak dasar.

2. Pembibitan Atlet
Pembibitan atlet adalah upaya mencari dan menemukan indi­vidu-individu yang memiliki potensi untuk mencapai prestasi olah­raga di kemudian hari, sebagai langkah atau tahap lanjutan dari pemassalan olahraga.

Pembibitan yang dimaksud adalah menyemaikan bibit, bukan mencari bibit. Ibaratnya seorang petani yang akan menanam padi, ia tidak membawa cangkul mencari bibit ke hutan, tetapi melaku­kan penyemaian bibit atau membuat bibit dengan cara tertentu, misalnya dengan memetak sebidang tanah sebagai tempat pem­buatan bibit yang akan ditanam.

Pembibian dapat dilakukan dengan melaksanakan identifikasi bakat (Talent Identification), kemudian dilanjutkan dengan tahap pengembangan bakat (Talent Development). Dengan cara demi­kian, maka proses pembibitan diharapkan akan lebih baik.

Ditinjau dari sudut pertumbuhan dan perkembangan gerak anak, merupakan kelanjutan dari akhir masa kanak-kanak, yaitu masa adolesensi.

Pelaksanaan pembibitan atlet ini menjadi tanggung jawab pengelola olahraga pada tingkat eksekutif-taktik dan sekaligus bertanggung jawab pada pembinaan di tingkat di bawahnya, yaitu pada tahap pemassalan olahraga. Di sini disusun program yang mampu memunculkan bibit-bibit, baik di tingkat kotamadya/kabu­paten maupun di tingkat propinsi. Adanya kejuaraan-kejuaraan yang teratur merupakan salah satu cara untuk merangsang dan memacu munculnya atlet-atlet agar berlatih lebih giat dalam upaya meningkatkan prestasinya.

3. Peningkatan Prestasi
Prestasi olahraga merupakan puncak penampilan atlet yang dicapai dalam suatu pertandingan atau perlombaan, setelah melalui berbagai macam latihan maupun uji coba. Pertandingan/per­lom­baan tersebut dilakukan secara periodik dan dalam waktu tertentu.

Pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya merupakan pun­cak dari segala proses pembinaan, baik melalui pemassalan mau­pun pembibitan.

Dari hasil proses pembibitan akan dipilih atlet yang makin menampakkan prestasi olahraga yang dibina. Di sini peran penge­lola olahraga tingkat politik-strategik bertanggung jawab membina atlet-etlet ini yang memiliki kualitas prestasi tingkat nasional.

Para pengelola olahraga tingkat politik-strategik pada dasar­nya bertanggung jawab terhadap sistem pembangunan olahraga secara keseluruhan.

Oleh karena itu, pengorganisasian program pembinaan jangka panjang dapat dikemukakan bahwa (1) masa kanak-kanak berisi program latihan pemula (junior awal) yang merupakan usia mulai berolahraga dalam tahap pemassalan; (2) masa adolesensi berisi program latihan junior lanjut yang merupakan usia spesialisasi dalam tahap pembibitan; dan (3) masa pasca adolesensi berisi program latihan senior yang merupakan usia pencapaian prestasi puncak dalam tahap pembinaan prestasi.

B. Olahraga Non Kompetitif
Pembangunan olahraga termasuk suatu usaha untuk mem­bentuk manusia dalam totalitasnya, baik jasmaniah maupun rokhaniah, sehingga melalui olahraga dapat memberikan sumbang­an dharma baktinya bagi pembangunan bangsa.

Suatu negara yang ingin membangun bangsa yang sehat, kuat dan segar, maka perlu menyusun dan melaksanakan suatu sistem pembangunan olahraga secara menyeluruh yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan bangsa tidak akan lengkap atau sempurna tanpa pembangunan olahraga, karena aktivitas gerak manusia merupakan modal dasar aktivitas manusia dalam pem­bangunan.

Oleh karena pembangunan bangsa dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia dan pembangunan seluruh masya­rakat Indonesia, maka pembangunan olahraga dilaksanakan untuk mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara per­tumbuhan fisik-biologis dan pertumbuhan mental spiritual, antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.

Adapun pembangunan olahraga yang bersifat non kompetitif dapat diarahkan dalam rangka upaya-upaya sebagai berikut:

1. Pendidikan Bangsa
Olahraga dapat mengembangkan dan membangun kepriba­dian, watak, budi pekerti luhur dan moral tinggi serta inisatif. Karena penyelenggaraan pembinaan olahraga bagi individu dan masyarakat ini, mengandung pendidikan yang positif.

2. Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Olahraga dapat menghilangkan rasa kedaerahan dan ke­sukuan serta mempertebal rasa persatuan dan kesatuan Nasional. Hal ini dapat terlihat pada pertandingan-pertandingan atau kejuara­an-kejuaraan olahraga seperti, Pekan Olahraga Nasional (PON), pertandingan-pertandingan antar negara, dan lain-lain.

3. Pertahanan dan Ketahanan Nasional.
Dengan pembinaan olahraga bagi individu dan masyarakat, khususnya bagi generasi muda, antara lain meliputi pengarahan, bimbingan dan pengawasan intensif serta mengikutsertakan manusia secara aktif dalam penyelenggaraan, akan merupakan proses pendewasaan dan pengembangan kepemimpinan. Manusia yang berkepribadian tangguh, sehat jasmani dan rokhani merupa­kan modal penting bagi pertahanan dan ketahanan Nasional.

4. Rekreasi.
Dalam kehidupan moderen dengan kemajuan ilmu dan teknologi mutakhir, gerak manusia berkurang, maka untuk meme­lihara keseimbangan hidup manusia, kegiatan olahraga yang bersifat rekreatif sangat dibutuhkan. 

MEMBERDAYAKAN POTENSI BANGSA DALAM UPAYA PEMBANGUNAN OLAHRAGA
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi seba­gai Daerah Otonom dinyatakan bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam bidang olahraga adalah sebagai berikut:
(1) Pemberian dukungan untuk pembangunan sarana dan prasarana olahraga;
(2) Penetapan pedoman pemberdayaan masyarakat olahraga; dan
(3) Penetapan kebijakan dalam penentuan kegiatan-kegiatan olah­raga nasional/internasional.

Untuk itu, berdasarkan wilayah atau daerah, selebihnya men­jadi kewenangan daerah (terutama kota/kabupaten). Implikasinya adalah pemerintah daerah (propinsi/kota/kabupaten) memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan dalam pembangunan olahraga di wilayah/daerahnya sesuai dengan kewenangannya, tanpa mengabaikan kebijakan pembangunan olahraga secara nasional.

Agar dalam merumuskan kebijakan pembangunan olahraga dapat dilakukan dengan baik, maka perlu memperhatikan kondisi dan potensi daerah yang ada. Khususnya dalam pembinaan olah­raga prestasi harus dilakukan kajian dengan cermat. 

Setelah kebijakan pembangunan olahraga dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah menggali dan menggalang potensi di daerah/masyarakat agar pembinaan olahraga tersebut secara opera­sional dapat dilakukan dengan baik.

Pembangunan olahraga bukan hanya tanggung jawab insan-insan olahraga, tetapi juga merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Pembangunan olahraga bukan hanya tanggung jawab pelatih dan atlet, melainkan tanggung jawab bangsa Indo­nesia secara keseluruhan. 

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan kaitannya dengan pembangunan olahraga di Indonesia, yaitu (1) olahraga dijadikan gerakan nasional (national movement); (2) perlunya undang-undang keolahragaan; dan (3) perlunya sistem perencanaan pro­gram yang berkesinambungan dan terpadu.

A. Olahraga Dijadikan Gerakan Nasional (National Movement)
Kondisi pembinaan dewasa ini tampaknya masih belum menyentuh sampai lapisan bawah, yaitu kurang mengakar. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya pembenahan.

Tak ada salahnya bila kita mengkaji dari pengalaman bidang lain yang telah berhasil di negara kita, yaitu keberhasilan gerakan nasional Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan mulai tahun tujuh puluhan. Kalau kita perhatikan gerakan KB waktu itu, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Berkat komitmen dan usaha yang keras, maka KB sekarang ini bukan hanya disadari pentingnya bagi pembinaan keluarga, melainkan menjadi kebutuh­an individu dan keluarga di masyrarakat. Bahkan sekarang ini di tingkat RW telah ada sebuah lembaga, yaitu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

Belajar dari pengalaman gerakan nasional KB, tampaknya tidaklah berlebihan apabila pembangunan olahraga di Indonesia dijadikan sebagai gerakan nasional yang benar-benar mengakar sampai ke lapisan bawah. Dalam hal ini upaya memasyarakatkan olahraga dan menngolahragakan masyarakat dilakukan dengan membentuk wadah pembinaan atau organisasi sampai tingkat Kecamatan (misalnya, KONI tingkat Kecamatan).

Sebagai pertimbangan mengenai perlunya KONI tingkat kecamatan adalah karena ada beberapa potensi yang dapat dikem­bangkan dan dilibatkan. Hampir di setiap kecamatan memiliki SD, SMTP dan/atau SMTA. Kondisi ini memungkinkan untuk mem­bentuk suatu wadah pembinaan olahraga, minimal membentuk klub olahraga. Bersama-sama dengan tokoh lain, guru-guru pendidikan jasmani yang ada dapat dilibatkan dan difungsikan sebagai pelatih, sedangkan para siswa dapat dilibatkan sebagai atlet.

Dalam kenyataannya bahwa munculnya bibit-bibit unggul yang selama ini terjadi ditemukan di kampung-kampung yang ter­bukti telah menghasilkan atlet-atlet tangguh di cabangnya masing-masing, misalnya Icuk Sugiarto, Joko Supriyanto, Sumardi, Yayuk Basuki dan lain-lain. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan dalam memayungi dan mewadahi munculnya bibit-bibit melalui lembaga atau organisasi olahraga, setidak-tidaknya di tingkat kecamatan. 

Organisasi/lembaga olahraga di tingkat kecamatan ini teru­tama berupaya menumbuhkan dan mengelola klub-klub olahraga yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Hal ini didasarkan bahwa keberadaan klub-klub olahraga di Indonesia telah muncul beberapa puluh tahun yang lalu.

Klub olahraga ini bermunculan di berbagai tempat. Hampir semua cabang olahraga menyandarkan pembinaannya bersumber dari aktivitas hasil klub sebagai landasan awal. Dalam kenyataan­nya, masyarakat olahraga membutuhkan wadah ini sebagai tempat untuk berlatih dan membina atlet. Namun penanganan yang tepat agar klub tersebut dapat hidup dalam suasana yang kondusif masih belum optimal.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa populasi anak usia SD dan SMTP cukup besar jumlahnya. Oleh karena itu, keberadaan klub-klub olahraga sangat strategis sebagai upaya menampung minat yang berada di lingkungan mereka. Dan klub ini tidak akan kekurangan peserta. Perlunya wadah dan lembaga olahraga tingkat kecamatan ini, tampaknya sangat memungkinkan untuk ditangani, terutama dalam upaya pemassalan dan pembibitan.

B. Perlunya Undang-Undang Keolahragaan
Kebutuhan akan adanya undang-undang tentang keolahraga­an dirasakan sangat mendesak. Hal ini disebabkan karena pembina­an ataupun pembangunan olahraga pada dasarnya merupakan suatu sistem. Oleh karena sistem melibatkan berbagai unsur yang bersifat koordinatif dan terpadu, maka diperlukan adanya pengaturan.

Ada beberapa pertimbangan utama mengenai perlunya undang-undang keolahragaan, yaitu:
1. Bahwa pembinaan dan pembangunan olahraga merupakan bagian penting dari pembangunan manusia seutuhnya. Dalam kenyataannya penanganan pembinaan olahraga di Indonesia belum mendapat penanganan secara proporsional.

2. Berbagai masalah yang selama ini muncul, misalnya pemba­ngu­nan sarana dan prasarana di lingkungan pendidikan, masya­rakat maupun lingkungan industri akan sangat efektif apabila diatur dalam undang-undang.

3. Pembinaan olahraga, baik melalui pemassalan, pembibitan, mau­pun peningkatan presitasi, makin lama mengalami perkem­bangan yang makin padat dan memerlukan pengelolaan yang efektif dan efisien. Di samping itu, kewenangan dalam penge­lolaannya juga memerlukan peraturan yang jelas.

4. Secara umum bahwa perkembangan olahraga bersifat universal tidak dapat lepas dari perkembangan olahraga internasional. Indonesia sebagai salah satu bangsa yang menyadari akan pentingnya olahraga bagi kehidupan bangsa, maka perlu adanya pengaturan untuk menjamin terlaksananya pembangunan olah­raga yang didasarkan pada ketentuan dan peraturan yang berupa legalitas hukum atau undang-undang.

5. Hampir semua lembaga maupun individu merasa berhak, ber­wenang dan bebas mengurus olahraga di Indonesia, sehingga sering terjadi tumpang tindih dan sering kali terjadi peng­hamburan dana yang sasarannya tergantung pada si pemberi dana.

Pentingnya undang-undang olahraga ini telah ditunjukkan tingkat keefektivan dan keefisienannya oleh negara-negara maju, seperti Amerika dan Australia.

C. Perlunya Sistem Perencanaan dan Pelaksanaan Program Yang Berkesinambungan dan Terpadu
Idealnya pembangunan olahraga di Indonesia dikelola oleh sebuah departemen yang memiliki struktur organisasi sampai ke tingkat bawah. Selama ini pembangunan olahraga ditangani oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Departemen Pendi­dikan Nasional, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), dan Badan Pembina Olahraga Profesional Indonesia (BAPOPI). Per­soalannya adalah bagaimana program dari masing-masing lembaga tersebut dapat dijalankan dengan baik, dan tidak terjadi tumpang tindih.

Keefektivan suatu sistem pembangunan olahraga sangat ter­gantung pada sistem perencanaan. Dalam arti bahwa perencanaan suatu sistem merupakan suatu proses mempersiapkan hal-hal yang akan dikerjakan pada waktu yang akan datang untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, perencanaan sistem pembangunan olahraga yang matang sangat diperlukan.

Perencanaan pembangunan olahraga seharusnya dipandang sebagai suatu alat yang dapat membantu para pengelola pemba­ngunan untuk menjadi lebih berdaya guna dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Perencanaan dapat membantu pencapaian suatu target atau sasaran secara lebih ekonomis, tepat waktu dan memberi peluang untuk lebih mudah dikontrol dan dimonitor dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, perencanaan program yang sistematis dan sistemik, akan menjadikan program tersebut runtut, terpadu dan berkesinambungan.