Senin, 29 Juli 2013

Penyebab pecahnya PSSI

Penyebab pecahnya PSSI
Bagi sebagian orang yang tidak pernah terjun langsung ke lapangan bersentuhan dengan sepak bola Indonesia, barangkali agak sulit memahami duduk perkara kemelut PSSI. Sebagian orang yang hanya mengamati sepak bola nasional dari belakang meja dan cuma mengandalkan informasi dunia maya pasti terheran-heran dengan arus besar masyarakat yang menginginkan revolusi di tubuh PSSI. Sementara orang yang tak cukup punya bagasi pengalaman bergaul dengan sepak bola Indonesia pasti berpendapat, pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) bertindak terlalu jauh, bahkan mengintervensi persoalan PSSI.
Khusus mengenai butir terakhir, belakangan marak dibincangkan isu intervensi oleh pemerintah terhadap PSSI yang dikaitkan dengan kemungkinan sanksi FIFA terhadap Indonesia. Isu ini meledak setelah Menpora Andi Mallarangeng menghardik PSSI selepas pengumuman Komite Pemilihan yang mengganjal dua nama dari luar lingkaran dalam (inner circle) PSSI dan mengegolkan dua nama lain dari kalangan petahana (incumbent). Kalangan PSSI beranggapan Menpora bertindak terlalu jauh, bahkan melakukan intervensi, sementara Menpora bersikukuh menjalankan amanat Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional.
Meski mendapat bantuan finansial pemerintah lewat APBN dan klub-klubnya mengemis APBD untuk ikut kompetisi, PSSI berkeras berpegang pada Statuta FIFA yang melarang pemerintah ikut campur. Sementara Menpora tampaknya jauh lebih rasional dan bertindak benar sesuai dengan amanat undang-undang. Pada prinsipnya, meski punya aturan tersendiri, FIFA tak punya kedaulatan absolut, sebagaimana halnya kedaulatan negara yang punya teritori dan wilayah hukum.
PSSI yang didirikan oleh para pendahulu kita sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa lebih dari 80 tahun lalu justru kini menjadi penyebab pecahnya persatuan bangsa. Penggiringan opini bahwa Statuta FIFA adalah hukum yang mengatasi segala-galanya sehingga menjadikan PSSI sebagai lembaga yang sangat superior membuat sebagian orang mengira bahwa kesalahan ada di tangan pemerintah jika Indonesia terkena sanksi FIFA. Padahal, faktanya, seperti dikatakan anggota Komisi X DPR, Utut Adianto, sepanjang masih ada bantuan pendanaan dari pemerintah, sangat naif jika PSSI menuntut independensi penuh.
Pun jika mereka sudah tak lagi mendapat bantuan pemerintah, Statuta FIFA bukanlah hukum yang mengatasi undang-undang negara. Logika sederhananya, sepanjang organisasi berkedudukan, berkegiatan, dan bersentuhan langsung dengan wilayah Republik Indonesia, hukum dan undang-undang negara tetap harus lebih superior. FIFA hanya punya ”kedaulatan” penuh di wilayah pertandingan dan aturan-aturan permainannya. Di luar itu, apalagi jika berkaitan dengan keselamatan warga negara dan ketertiban umum, hukum negara tetap harus lebih superior daripada Statuta FIFA.
Terkait dengan sanksi FIFA, jika pemerintah melakukan intervensi, itu pun bukan berarti sepak bola Indonesia mengalami kiamat. Pada situasi sekarang, masyarakat justru merasa salah satu alternatif terbaik bagi perbaikan iklim sepak bola nasional adalah intervensi pemerintah yang diikuti sanksi FIFA. Tentu ini kondisi pahit dan berat. Namun, sebagaimana penderita kanker, operasi pengangkatan sel kanker adalah salah satu opsi terbaik demi kesembuhan. Menjalani operasi dan kemoterapi pastilah menyakitkan. Akan tetapi, demi kehidupan sepak bola yang lebih baik, risiko itu harus diambil.
Pemangku kepentingan sepak bola Indonesia perlu menyadari bahwa kalaupun sanksi FIFA sampai jatuh, sepak bola tetap bisa hidup dan tumbuh subur di bumi Indonesia. Bahkan, jika keorganisasian PSSI dibenahi secara mendasar dan ditempati orang-orang profesional dengan dedikasi penuh membangun sepak bola, hampir dapat dipastikan sepak bola Indonesia akan punya prestasi yang membanggakan.
Sepanjang sanksi masih berlaku, Indonesia memang tidak bisa mengikuti ajang internasional di bawah bendera FIFA, seperti Piala Asia, Piala Dunia, atau Liga Champions Asia. Namun, sepak bola kita tetap bisa berkiprah pada kegiatan internasional di bawah bendera Komite Olimpiade Internasional (IOC), seperti SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade. Meski timnas Garuda tidak memakai bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Komite Olimpiade, tetaplah yang tampil putra-putra terbaik bangsa Indonesia.
Lagi pula, FIFA bukanlah badan yang tidak bisa dilobi untuk segala macam hal. Sanksi, seberat apa pun, tetap punya ruang yang sangat luas untuk dihapus asalkan Indonesia mampu menunjukkan niat dan hasil pembinaan secara meyakinkan. Dalam banyak kasus, FIFA pun tidak memberikan sanksi kepada negara yang melakukan intervensi, seperti Arab Saudi dan China.
Harus dipahami pula, kemelut yang kini melanda persepakbolaan nasional tidak melulu menyangkut satu atau dua orang, tetapi organisasi dan pembinaan sepak bola secara umum. Pemelintiran standar Statuta FIFA dan patgulipat segala macam aturan adalah puncak gunung es dari masalah sepak bola secara umum. Dalam dua periode terakhir, organisasi PSSI terlalu sibuk dengan urusan hukum dan statuta sehingga cenderung melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan absolutnya. Makin terpuruknya prestasi Indonesia di ajang-ajang internasional adalah bukti yang tidak terbantahkan bahwa penguasa sepak bola kita tidak menjalankan amanat pembinaan sepak bola yang dibebankan oleh masyarakat.
Ke depan, siapa pun yang memimpin organisasi PSSI haruslah orang yang tidak saja punya kapabilitas dan profesionalisme, tetapi jauh lebih penting punya hati nurani yang memihak kejujuran dan sportivitas. Tidak seperti cabang olahraga lain, sepak bola punya dampak sosial yang sangat hebat dan mampu memengaruhi perilaku kehidupan bangsa secara umum. Oleh karena itulah, PSSI lebih membutuhkan figur yang bisa dijadikan contoh, suri teladan, dan panutan. Semoga...!
1.      Organisasi - Organisasi yang dinaungi oleh PSSI
1.      ISL
2.      Liga Ti-phone
3.      KONI 
Ketika PSSI menggelar Musyawarah Nasional (Munas) membahas mengenai statuta pada tahun 2009 yang lalu, sebenarnya pasal kriminal sudah menjadi bahan perdebatan yang sengit di berbagai media massa. Banyak kalangan menilai bahwa Statuta PSSI bertentangan dengan Standart Statuta FIFA. Namun toh Statuta PSSI tersebut sudah disahkan dan berlaku hingga sekarang.
Kini permasalahan mengenai pasal kriminal kembali menjadi buah bibir dan menghiasi berbagai pemberitaan media massa ketika KOI (Komite Olahraga Indonesia) menyusun kembali AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) terutama yang mengatur tentang keanggotaan. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap induk organisasi (PB/PP) yang akan menjadi anggota KOI adalah keharusan untuk memiliki AD/ART yang di dalamnya mengatur persyaratan atas setiap anggota pengurusnya, yakni 1. sehat jasmani dan rohani yang didukung oleh keterangan tertulis dari dokter atau rumah sakit, dan 2. tidak pernah tersangkut perkara pidana dan/atau dijatuhi hukuman penjara.
Poin nomor dua menjadi permasalahan bagi PSSI mengingat Statuta PSSI yang baru disahkan tentang pasal kriminal yang tertuang dalam Pasal 35 butir 4 memiliki pengertian yang berbeda dengan pasal kriminal yang tertuang dalam AD/ART KOI. Statuta PSSI mengenai hal diatas menyebutkan “tidak sedang dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal pada saat kongres”. Atau dengan kata lain di PSSI, Ketua Umum atau anggota EXCO (Komite Eksekutif) boleh pernah tersangkut tindak pidana sebelumnya asal pada saat kongres tidak sedang dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal.
FIFA sendiri memiliki Standard Statuta sendiri yang disahkan sejak Juni 2005. Standard Statuta diterbitkan FIFA sebagai acuan bagi asosiasi yang berada di bawahnya agar memiliki Statuta yang sesuai dengan ketentuan Statuta FIFA. Pada Pasal 32 poin 4 mengenai Komite Eksekutif, FIFA menuliskan “…They shall have already been active in football, must not have been previously found guilty of a criminal offence…”. Yang dapat diartikan “Mereka harus sudah aktif di sepakbola, tidak boleh pernah dinyatakan bersalah dalam tindak pidana” atau dapat dimaknai sebagai siapa pun yang pernah terlibat tindak pidana kriminal tidak diperbolehkan menjadi Ketua Umum PSSI dan anggota Komite Eksekutif.
Standard Statuta FIFA dan AD/ART KOI memiliki persamaan makna mengenai pasal kriminal namun berbeda dengan Statuta PSSI. Kalaupun PSSI merasa keberatan mengenai pasal tersebut dalam AD/ART KOI mereka dapat kembali merujuk kepada Standard Statuta FIFA yang memiliki pengertian yang sama.
Sebenarnya masalah dapat diselesaikan dengan mengadakan pertemuan antara KOI, PSSI dan FIFA untuk mendapatkan kejelasan tentang pasal kriminal ini. PSSI memang tidak boleh dintervensi pihak ketiga, oleh karena itu PSSI bisa menjadi jembatan bagi FIFA dan KOI terkait masalah ini. Hal ini diperlukan supaya tidak ada ganjalan bagi sepakbola Indonesia ketika mengikuti ajang-ajang multievent yang dipayungi IOC (Komite Olimpiade Internasional).
Permasalahan ini harus dilihat dengan pikiran positif, jangan saling menuding dan menyalahkan. KOI dan FIFA tetap penting bagi PSSI, mengabaikan salah satunya berati masalah bagi PSSI. Jangan sampai nanti PSSI mendapat sanksi dari FIFA dan jangan sampai pula ada ungkapan “Silahkan PSSI berdiri dan mengatur organisasinya sendiri namun jangan bawa nama Indonesia”. Salam sepakbola!

0 komentar:

Posting Komentar