Penyebab pecahnya PSSI
Bagi
sebagian orang yang tidak pernah terjun langsung ke lapangan bersentuhan dengan
sepak bola Indonesia, barangkali agak sulit memahami duduk perkara kemelut
PSSI. Sebagian orang yang hanya mengamati sepak bola nasional dari belakang
meja dan cuma mengandalkan informasi dunia maya pasti terheran-heran dengan
arus besar masyarakat yang menginginkan revolusi di tubuh PSSI. Sementara orang
yang tak cukup punya bagasi pengalaman bergaul dengan sepak bola Indonesia
pasti berpendapat, pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora)
bertindak terlalu jauh, bahkan mengintervensi persoalan PSSI.
Khusus
mengenai butir terakhir, belakangan marak dibincangkan isu intervensi oleh
pemerintah terhadap PSSI yang dikaitkan dengan kemungkinan sanksi FIFA terhadap
Indonesia. Isu ini meledak setelah Menpora Andi Mallarangeng menghardik PSSI
selepas pengumuman Komite Pemilihan yang mengganjal dua nama dari luar
lingkaran dalam (inner circle) PSSI dan mengegolkan dua nama lain dari kalangan
petahana (incumbent). Kalangan PSSI beranggapan Menpora bertindak terlalu jauh,
bahkan melakukan intervensi, sementara Menpora bersikukuh menjalankan amanat
Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional.
Meski
mendapat bantuan finansial pemerintah lewat APBN dan klub-klubnya mengemis APBD
untuk ikut kompetisi, PSSI berkeras berpegang pada Statuta FIFA yang melarang
pemerintah ikut campur. Sementara Menpora tampaknya jauh lebih rasional dan
bertindak benar sesuai dengan amanat undang-undang. Pada prinsipnya, meski
punya aturan tersendiri, FIFA tak punya kedaulatan absolut, sebagaimana halnya
kedaulatan negara yang punya teritori dan wilayah hukum.
PSSI
yang didirikan oleh para pendahulu kita sebagai alat perjuangan dan pemersatu
bangsa lebih dari 80 tahun lalu justru kini menjadi penyebab pecahnya persatuan
bangsa. Penggiringan opini bahwa Statuta FIFA adalah hukum yang mengatasi segala-galanya
sehingga menjadikan PSSI sebagai lembaga yang sangat superior membuat sebagian
orang mengira bahwa kesalahan ada di tangan pemerintah jika Indonesia terkena
sanksi FIFA. Padahal, faktanya, seperti dikatakan anggota Komisi X DPR, Utut
Adianto, sepanjang masih ada bantuan pendanaan dari pemerintah, sangat naif
jika PSSI menuntut independensi penuh.
Pun
jika mereka sudah tak lagi mendapat bantuan pemerintah, Statuta FIFA bukanlah
hukum yang mengatasi undang-undang negara. Logika sederhananya, sepanjang
organisasi berkedudukan, berkegiatan, dan bersentuhan langsung dengan wilayah
Republik Indonesia, hukum dan undang-undang negara tetap harus lebih superior.
FIFA hanya punya ”kedaulatan” penuh di wilayah pertandingan dan aturan-aturan
permainannya. Di luar itu, apalagi jika berkaitan dengan keselamatan warga
negara dan ketertiban umum, hukum negara tetap harus lebih superior daripada
Statuta FIFA.
Terkait
dengan sanksi FIFA, jika pemerintah melakukan intervensi, itu pun bukan berarti
sepak bola Indonesia mengalami kiamat. Pada situasi sekarang, masyarakat justru
merasa salah satu alternatif terbaik bagi perbaikan iklim sepak bola nasional
adalah intervensi pemerintah yang diikuti sanksi FIFA. Tentu ini kondisi pahit
dan berat. Namun, sebagaimana penderita kanker, operasi pengangkatan sel kanker
adalah salah satu opsi terbaik demi kesembuhan. Menjalani operasi dan
kemoterapi pastilah menyakitkan. Akan tetapi, demi kehidupan sepak bola yang
lebih baik, risiko itu harus diambil.
Pemangku
kepentingan sepak bola Indonesia perlu menyadari bahwa kalaupun sanksi FIFA
sampai jatuh, sepak bola tetap bisa hidup dan tumbuh subur di bumi Indonesia.
Bahkan, jika keorganisasian PSSI dibenahi secara mendasar dan ditempati
orang-orang profesional dengan dedikasi penuh membangun sepak bola, hampir
dapat dipastikan sepak bola Indonesia akan punya prestasi yang membanggakan.
Sepanjang
sanksi masih berlaku, Indonesia memang tidak bisa mengikuti ajang internasional
di bawah bendera FIFA, seperti Piala Asia, Piala Dunia, atau Liga Champions
Asia. Namun, sepak bola kita tetap bisa berkiprah pada kegiatan internasional
di bawah bendera Komite Olimpiade Internasional (IOC), seperti SEA Games, Asian
Games, atau Olimpiade. Meski timnas Garuda tidak memakai bendera Merah Putih
dan menggantinya dengan bendera Komite Olimpiade, tetaplah yang tampil
putra-putra terbaik bangsa Indonesia.
Lagi
pula, FIFA bukanlah badan yang tidak bisa dilobi untuk segala macam hal.
Sanksi, seberat apa pun, tetap punya ruang yang sangat luas untuk dihapus asalkan
Indonesia mampu menunjukkan niat dan hasil pembinaan secara meyakinkan. Dalam
banyak kasus, FIFA pun tidak memberikan sanksi kepada negara yang melakukan
intervensi, seperti Arab Saudi dan China.
Harus
dipahami pula, kemelut yang kini melanda persepakbolaan nasional tidak melulu
menyangkut satu atau dua orang, tetapi organisasi dan pembinaan sepak bola
secara umum. Pemelintiran standar Statuta FIFA dan patgulipat segala macam
aturan adalah puncak gunung es dari masalah sepak bola secara umum. Dalam dua
periode terakhir, organisasi PSSI terlalu sibuk dengan urusan hukum dan statuta
sehingga cenderung melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan
absolutnya. Makin terpuruknya prestasi Indonesia di ajang-ajang internasional
adalah bukti yang tidak terbantahkan bahwa penguasa sepak bola kita tidak
menjalankan amanat pembinaan sepak bola yang dibebankan oleh masyarakat.
Ke
depan, siapa pun yang memimpin organisasi PSSI haruslah orang yang tidak saja
punya kapabilitas dan profesionalisme, tetapi jauh lebih penting punya hati
nurani yang memihak kejujuran dan sportivitas. Tidak seperti cabang olahraga
lain, sepak bola punya dampak sosial yang sangat hebat dan mampu memengaruhi
perilaku kehidupan bangsa secara umum. Oleh karena itulah, PSSI lebih membutuhkan
figur yang bisa dijadikan contoh, suri teladan, dan panutan. Semoga...!
1. Organisasi - Organisasi yang dinaungi oleh PSSI
1.
ISL
2.
Liga Ti-phone
3.
KONI
Ketika
PSSI menggelar Musyawarah Nasional (Munas) membahas mengenai statuta pada tahun
2009 yang lalu, sebenarnya pasal kriminal sudah menjadi bahan perdebatan yang
sengit di berbagai media massa. Banyak kalangan menilai bahwa Statuta PSSI
bertentangan dengan Standart Statuta FIFA. Namun toh Statuta PSSI tersebut
sudah disahkan dan berlaku hingga sekarang.
Kini
permasalahan mengenai pasal kriminal kembali menjadi buah bibir dan menghiasi
berbagai pemberitaan media massa ketika KOI (Komite Olahraga Indonesia)
menyusun kembali AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) terutama yang
mengatur tentang keanggotaan. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh
setiap induk organisasi (PB/PP) yang akan menjadi anggota KOI adalah keharusan
untuk memiliki AD/ART yang di dalamnya mengatur persyaratan atas setiap anggota
pengurusnya, yakni 1. sehat jasmani dan rohani yang didukung oleh keterangan
tertulis dari dokter atau rumah sakit, dan 2. tidak pernah tersangkut perkara
pidana dan/atau dijatuhi hukuman penjara.
Poin nomor dua menjadi permasalahan bagi PSSI
mengingat Statuta PSSI yang baru disahkan tentang pasal kriminal yang tertuang
dalam Pasal 35 butir 4 memiliki pengertian yang berbeda dengan pasal kriminal
yang tertuang dalam AD/ART KOI. Statuta PSSI mengenai hal diatas menyebutkan
“tidak sedang dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal pada saat kongres”.
Atau dengan kata lain di PSSI, Ketua Umum atau anggota EXCO (Komite Eksekutif)
boleh pernah tersangkut tindak pidana sebelumnya asal pada saat kongres tidak
sedang dinyatakan
bersalah atas tindakan kriminal.
FIFA
sendiri memiliki Standard Statuta sendiri yang disahkan sejak Juni 2005.
Standard Statuta diterbitkan FIFA sebagai acuan bagi asosiasi yang berada di
bawahnya agar memiliki Statuta yang sesuai dengan ketentuan Statuta FIFA. Pada
Pasal 32 poin 4 mengenai Komite Eksekutif, FIFA menuliskan “…They shall have already
been active in football, must not have been previously found guilty of a
criminal offence…”. Yang dapat diartikan “Mereka harus sudah aktif di
sepakbola, tidak boleh pernah dinyatakan bersalah dalam tindak pidana” atau
dapat dimaknai sebagai siapa pun yang pernah terlibat tindak pidana kriminal
tidak diperbolehkan menjadi Ketua Umum PSSI dan anggota Komite Eksekutif.
Standard
Statuta FIFA dan AD/ART KOI memiliki persamaan makna mengenai pasal kriminal
namun berbeda dengan Statuta PSSI. Kalaupun PSSI merasa keberatan mengenai
pasal tersebut dalam AD/ART KOI mereka dapat kembali merujuk kepada Standard
Statuta FIFA yang memiliki pengertian yang sama.
Sebenarnya
masalah dapat diselesaikan dengan mengadakan pertemuan antara KOI, PSSI dan
FIFA untuk mendapatkan kejelasan tentang pasal kriminal ini. PSSI memang tidak
boleh dintervensi pihak ketiga, oleh karena itu PSSI bisa menjadi jembatan bagi
FIFA dan KOI terkait masalah ini. Hal ini diperlukan supaya tidak ada ganjalan
bagi sepakbola Indonesia ketika mengikuti ajang-ajang multievent yang dipayungi
IOC (Komite Olimpiade Internasional).
Permasalahan
ini harus dilihat dengan pikiran positif, jangan saling menuding dan
menyalahkan. KOI dan FIFA tetap penting bagi PSSI, mengabaikan salah satunya
berati masalah bagi PSSI. Jangan sampai nanti PSSI mendapat sanksi dari FIFA
dan jangan sampai pula ada ungkapan “Silahkan PSSI berdiri dan mengatur
organisasinya sendiri namun jangan bawa nama Indonesia”. Salam sepakbola!
0 komentar:
Posting Komentar