Rabu, 28 Agustus 2013

Aplikasi Jurnalisme Masa Kini

Aplikasi Jurnalisme Masa Kini Di provinsi Jawa Timur, dari berbagai media cetak yang terbit setiap hari, baru dua koran yang sudah membuka rubrik citizen journalism, yakni Surya dan Surabaya Post, yang keduanya terbit di kota Surabaya. Faktanya, masyarakat sangat apresiatif dengan dibukanya rubrik citizen journalism itu. Kondisi itu dapat dilihat dari banyaknya penulis pemula yang muncul dengan beragam peristiwa yang dilaporkannya. Hasilnya, rubrik tersebut disebut-sebut sebagai yang paling favorit sebab banyak pembaca berebut menulis hingga harus dilakukan proses seleksi ketat oleh redaksi koran tulisan mana saja yang layak dimuat. Dan jika keadaan itu terus berlanjut bukan tak mungkin media cetak lainnya bakal mengikuti membuka ruang citizen journalism. Sebenarnya bukan itu yang menjadi titik perhatian yang menjadi ulasan, melainkan lebih pada upaya media cetak tampil beda supaya keberadaannya tetap diterima masyarakat di tengah perkembangan media online yang tak terbendung.

Di samping memberikan sarana edukasi bagi masyarakat sebagai sarana belajar menulis, pembukaan rubrik baru tersebut meruntuhkan mitos bahwa hanya kelompok tertentu yang bisa menjadi wartawan. Meskipun juga tak bisa menyandingkan hasil tulisan berita dari masyarakat dengan wartawan profesional.. Berpatokan dari itu, secara keseluruhan terbukti, media cetak yang mulai mengembangkan aliran new journalism eksistensinya tak tergerus internet dan tetap dibutuhkan pembaca.

Memang tak mudah menerapkan aliran jurnalisme kontemporer dalam media cetak mengingat ada hambatan tertentu yang wajib di atasi sehingga tak semua pihak media cetak mengaplikasiannya. Di samping terhalang kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) wartawan, juga tak adanya kemauan pimpinan media cetak itu sendiri dalam mengantisipasi perubahan jurnalisme yang menjadi trend global. Tak heran, pada akhirnya beberapa media cetak semakin ditinggal pembaca dan mengalami kebangkrutan sebab tak ada lagi pembacanya.

Meskipun banyak kelebihan di sana-sini, kehadiran jurnalisme baru turut serta membawa kekurangan yang mengundang kritik dari berbagai pengamat maupun praktisi media. Keadaan itu wajar saja mengingat jurnalisme baru dapat dikatakan merupakan tantangan bagi wartawan, yang membuat tak selamanya yang baru selalu sempurna dan tanpa kekurangan.

Karenanya, buku karya penulis yang telah mempublikasikan puluhan ini mengungkapkan, kritik yang muncul disebabkan; pertama, jurnalisme baru membutuhkan keberanian dalam memberitakan peristiwa yang menghebohkan, misal perlu investigasi guna menggambarkan fakta secara detail agar berita lebih ‘hidup’ ketika dibaca. Yang skill itu tentu tak dibutuhkan gaya jurnalisme lama yang menyajikan berita secara datar dan kaku.


Kedua, dibutuhkannya keahlian menulis. Maksudnya, wartawan harus memiliki keahlian menulis yang merupakan kunci utama guna menggambarkan fakta, mulai mendeskripsikan obyek maupun karakter yang ditemui di lapangan, sisi lain yang layak dikupas, hingga gaya penulisan yang memberikan perspektif baru bagi pembaca. Semua itu tak bisa dilakukan kalau wartawan tak terlatih dan memiliki kemampuan menulis standart.

Ketiga, jurnalisme baru tulisannya sangat panjang. Hal itu disebabkan untuk mengajak pembaca supaya melihat detail kejadian berita secara beragam dan di luar banyak hal yang selama ini ditulis wartawan pada umumnya. Dari sudut di luar baku itulah dan penjabaran rangkaian fakta menjadi enak dibaca akan menabrak kaidah jurnalisme kuno yang biasanya menurunkan berita secara singkat dan padat dengan alasan keterbatasan space koran.

Keempat, penulisan berita harus mendalam. Wartawan tak bisa tidak untuk menulis fakta di lapangan dengan meminjam istilah Linda Christianty secara ‘panjang, dalam, dan terasa’. Sehinga tak permukaan saja yang ditulis, melainkan di balik itu semua yang membuat peristiwa menarik akan diberitakan perlu diulas secara menyeluruh dengan cara menyajikan melalui tulisan mendalam melalui hasil olah fakta di lapangan ditambah bantuan kepekaan panca indera yang berhasil dirasa, didengar, dan dilihat.

Kelima, jurnalisme lama masih dibutuhkan masyarakat. Aneh tapi nyata, fakta membuktikan meskipun banyak koran sudah mengedepankan model jurnalisme baru, tetap saja koran yang menerapkan jurnalisme kuno masih diminati sebagai kalangan. Sehingga tak mutlak jurnalisme baru pasti lebih baik jika ukurannya itu.

Pada bagian lain, alumnus pascasarjana Riset dan Pengembangan Teori Komunikasi UNS Surakarta ini mengupas pentingnya kompetensi wartawan sebagai ujung tombak media cetak dalam mencari dan menyajikan berita. Karena sebagai mata dan telinga masyarakat, tugas wartawan menjadi lebih berat dalam menyusun rangkaian kata-kata untuk diberitakan berdasarkan hasil terjun di lapangan jika berpatokan pada jurnalisme baru.

Pasalnya, jika masih berpatokan jurnalisme lama, wartawan akan cenderung setuju dengan ungkapan yang dipopulerkan Carles A Dana, “When a dog bites a man that is no news, but a man bites a dog that is a news.” Namun, ketika sudah mulai mengaplikasikan prinsip jurnalisme baru, wartawan akan mendapatkan banyak hal jika pernyataan di atas benar-benar terjadi di masyarakat. Bagaimana tidak, jika yang menginggit adalah publik figur, sementara yang digigit anjing hanya seorang gelandangan, pasti kita akan sepakat bahwa orang terkenal yang mempunyai nilai berita lebih tinggi. Karena pasti segala hal terkait publik figur bisa diberitakan, apalagi jika sampai melakukan tindakan tak biasa sampai menggigit anjing, tentu memiliki nilai berita tinggi asalkan ditulis dari sudut tertentu dan di luar ketentuan baku, asal tak mengesampingkan fakta.

Maka itu, istilah “Good news is no news, bad news is good news” sudah tak relevan lagi dipercayai sebagai patokan untuk menilai sebuah peristiwa yang layak dijadikan berita oleh wartawan. Misal, ada seseorang yang mendapatkan hadiah uang Rp 1 milyar setelah dinyatakan sebagai pemenang dalam undian belanja. Mengingat jika teliti, wartawan akan bisa mengungkap banyak informasi di balik munculnya berita baik tersebut, seperti bagaimana perasaannya menjadi kaya mendadak, mau diapakan uanganya, atau adakah munculnya firasat sebelum mendapat “rejeki nomplok”? Itu semua jelas bisa dijadikan berita yang layak disajikan kepada masyarakar, sebab peristiwa itu unik, jarang terjadi, dan tak semua orang mengalaminya. Sehingga tak ada alasan tidak untuk tak menulisnya menjadi berita yang memiliki kadar informasi tinggi..

Jika sudah begitu, di tengah kekurangannya, jurnalisme baru banyak menawarkan berbagai kelebihannya yang sangat sayang jika tak diterapkan oleh wartawan maupun pimpinam media cetak. Pasalnya, persaingan koran yang semakin ketat menuntut setiap media cetak untuk menyajikan berita yang lain daripada berita yang diturunkan kompetitornya, apabila tak ingin kehilangan pembaca yang berdampak pada turunnya oplah koran.

Tak salah jika saya sebut himpitan akan hadirnya media online berbasis internet dengan keunggulan up date dari segi informasinya layak dijadikan sebagai tantangan agar media cetak lebih kreatif dalam menghadapi tuntutan zaman, bukannya itu dianggap sebagai ancaman. Karena keberadaan koran akan tetap dibutuhkan masyarakat sepanjang mampu memberikan informasi yang tak mampu diberikan media online yang juga memiliki keterbatasan.

Berpatokan itu, buku ini layak dikoleksi para calon jurnalis, pimpinan media cetak, dosen komunikasi, dan masyarakat umum peminat kajian jurnalisme. Tak lain supaya semua pihak yang bersentuhan langsung dengan dunia kewartawanan dapat segera mengantisipasi perubahan besar yang tak bisa dihentikan, yakni revolusi pentingnya jurnalisme baru diaplikasikan dalam media massa, khususnya media cetak.

0 komentar:

Posting Komentar