Rabu, 28 Agustus 2013

Desakan Jurnalisme Baru dan Tantangan Media Cetak

Desakan Jurnalisme Baru dan Tantangan Media Cetak
PERKEMBANGAN ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang luar biasa cepatnya harus diakui membawa dampak positif luar biasa besar dalam bidang komunikasi masyarakat. Sekarang, pola komunikasi dan penyampaian informasi setiap orang bisa dilakukan di mana saja tanpa takut terhalang jarak maupun waktu. Kondisi itu berkat ditemukannya alat komunikasi -- seperti handphone maupun internet -- yang membuat setiap orang semakin praktis dalam berinteraksi maupun berkomunikasi dengan orang lain, meski berbeda kota, pulau, maupun negara sekalipun.

Dengan munculnya teknologi informasi yang sedemikian canggih tersebut, juga turut berimbas pada penyampain berita yang dimiliki media massa (cetak maupun elektronik) kepada masyarakat. Jika dulu koran, radio, dan televisi, selalu berpatok pada aturan baku yang membuat informasi disampaikan secara kaku mengikuti kaidah manual yang sudah berjalan apa adanya seperti itu, maka kini hal itu tak bisa terus diterapkan.

Mengingat saat ini, selain media cetak dan elektronik, juga muncul media online yang keberadaannya memanfaatkan fasilitas internet sebagai sarana merebut pangsa pasar media massa yang sudah lebih dulu eksis. Keberadaan media online yang dapat sewaktu-waktu menyajikan berita secara cepat dan tepat tanpa terkendala waktu inilah yang dikhawatirkan akan mampu ’membunuh’ keberadaan media massa, terutama cetak.

Ilustrasinya begini, jika ada sebuah pertandingan sepakbola yang dilangsungkan dini hari, maka selesai pertandingan itu juga media online mampu memunculkan berita agar dapat diakses masyarakat. Berbeda dengan televisi yang masih membutuhkan waktu puluham menit hingga hitungan jam untuk bisa disiarkan menjadi berita kepada masyarakat. Bahkan, koran perlu waktu hampir satu hari untuk menyampaikan hasil pertandingan sepakbola sebab menunggu terbitnya edisi esok hari.

Sehingga jelas rentangan perbedaan waktu yang mencolok antara media online dengan televisi. Bahkan koran membuat jeda yang cukup lama tersebut akan menggiring masyarakat untuk melirik media informasi internet yang menyajikan beragam berita secara cepat, yang diiringi fenomena pembaca koran mau tak mau harus berpindah memanfaatkan intenert biar terus up date informasi.

Karena itu, jika tak mengikuti arus modernisasi yang mengarah pada revolusi model penyampaian informasi, media cetak akan tergilas dengan penetrasi internet yang semakin masif hingga terjangkau semua penduduk. Sebab, keunggulan internet terletak pada keberadaannya yang tak terikat waktu maupun deadline, yang efek baiknya setiap orang bisa mengakses sepanjang waktu untuk mendapatkan sajian informasi terkini dan terhangat.

Menyikapi itu, media cetak perlu untuk berbenah diri menyesuaikan mainstream (arus besar) yang memaksa setiap media massa melakukan revolusi besar-besaran agar tak ketinggalan zaman dan menjadi bagian sejarah peradaban manusia. Karena jika tidak, pakar komunikasi terkenal Philip Meyer, menyebut koran pada 2040 akan berhenti cetak, bisa jadi kenyataan kalau tak ada inovasi baru dari pimpinan koran untuk menyikapi perkembangan yang ada. Ramalan itu bukan mengada-ngada dan dapat saja benar adanya jika pihak media massa tak mengantisipasi segala perubahan yang terjadi di dunia kewartawanan.

Berangkat dari fenomena itu buku Jurnalisme Masa Kini memberikan gambaran strategi yang mesti diterapkan media massa, khususnya koran guna menghadapi era baru di mana jurnalisme kontemporer sedang melaju sedemikian derasnya di dunia ini. Karena jika tidak mengikuti jurnalisme baru, keberadaan media posisinya akan semakin tergencet di tengah laju internet yang semakin familiar di masyarakat.

Buku pemenang hibah buku teks DIKTI 2008 ini berupaya membedah banyak hal seputar perubahan media cetak, hingga tuntutan terhadap wartawan yang melakukan reportase lapangan untuk mengikuti perubahan secara total. Tujuannya tak lain supaya para pemimpin media, calon jurnalis (reporter) dan peminat kajian komunikasi sejak saat ini siap dapat memprediksi era komunikasi massa baru yang akan berkembang sangat dahsyat di masa datang.

Tak hanya mengulas perkembangan dinamika trend jurnalisme kontemporer yang tak bisa ditawar lagi untuk diterapkan media cetak, penulis juga menyajikan perkembangan pers dan jurnalisme di Indonesia, permasalahan mutakhir praktik jurnalisme di negeri ini, misalnya kasus seputar dampak pemberitaan media yang mempengaruhi opini publik, hingga persoalan tarik ulur kepentingan atas keberadaan UU Pokok Pers terkait pemberitaan media massa, yang kadang dipermasalahkan pihak narasumber hingga berlanjut ke pengadilan.

Untuk diketahui, sebelum internet berkembang sedemikian cepat seperti saat ini, tuntutan agar media cetak berbenah diri mengikuti arus zaman sebenarnya tidak muncul begitu saja sebagai respon reaktif semata. Melainkan sudah disuarakan beberapa puluh tahun lalu ketika internet belum digunakan masyarakat. Adalah Tom Wolf yang mulai memperkenalkan istilah new journalism (jurnalisme baru) sebagai sarana menyajikan berita model baru melalui teknik peliputan sekaligu penulisan yang menjadi gaya baru dalam profesi kewartawanan.

Tom Wolf yang meraih gelar doktor di bidang American Studies dari Universitas Yale, mulai menerapkan genre jurnalisme baru saat bekerja sebagai wartawan di New York Herald Tribune pada 1962. Melalui penulisan beberapa bukunya pada periode 1960-1970-an, dia mulai menyebarkan ajaran aliran jurnalisme baru, yang merupakan bentuk antithesis jurnalisme yang selama ini berkembang di dunia kewartawanan.

Tentu, ide segar dan pembuatan wacana melalui propaganda tulisan yang dibuat Tom Wolf untuk memperkenalkan aliran jurnalisme baru menyulut kontroversi di kalangan penggiat media cetak pada masa itu. Alhasil, gagasan modern tersebut tak langsung diterima begitu saja mengingat sebagian besar praktisi media menilai tulisan yang tak terstruktur dan menabrak pola pakem 5W+1H, melalui teknik penulisan yang tak lazim dinilai konyol dan menyalahi aturan. Sehingga tak begitu saja model baru itu diterima mayoritas media cetak, bahkan ada yang menolaknya mentah-mentah.

Namun kini, apa yang dirintis Tom Wolf sepertinya menjadi sebuah keharusan yang mesti diaplikasikan setiap pimpinan media cetak. Betapa tidak, arus informasi yang mengutamakan kecepatan informasi memaksa setiap orang berpikir dua kali untuk membeli koran jika ternyata berita yang disajikan sudah ada di media online, yakni internet. Maka tak heran kalau dulu model jurnalisme baru dianggap tak relevan, sekarang berbalik karena semua koran di Tanah Air berlomba melakukan inovasi sedemikian rupa agar keberadaannya tetap dilirik masyarakat.

Untuk itu, Nurudin yang juga dosen Ilmu Komunikasi UMM ini, menyarankan media cetak agar mengaplikasikan prinsip-prinsip jurnalisme baru sebagai sarana supaya eksistensinya di masyarakat memiliki kekhasan dan keunggulan tersendiri yang tak dipunyai media online. Salah satu yang paling mencolok adalah tuntutan diadakannya rubrik citizen journalism (jurnalisme warga negara), yang bertujuan memberikan wadah bagi pembaca untuk memunculkan rasa kedekatan dengan pihak media cetak.

Jika selama ini pihak pihak media cetak (pemimpin redaksi hingga wartawan) hanya menyajikan berita yang rutin diterbitkan setiap hari dan menganggap pembaca sebagai konsumen. Maka dengan adanya rubrik citizen journalism, pembaca bisa menjadi ‘wartawan’ dengan melakukan liputan langsung setiap peristiwa yang memiliki kandungan berita menarik yang layak diinformasikan. Maksudnya, pembaca dapat menulis dan melaporkan beragam peristiwa unik yang terjadi disekitarnya untuk dikirim ke koran. Asalkan memenuhi unsur minimal aturan baku sebuah berita, pasti pihak redaksi tak akan segan-segan memuat tulisan berita yang ditulis pembaca.

Hal itu jelas merupakan sebuah inovasi baru guna menghadapi tuntutan zaman agar keberadaan koran tak ditinggalkan masyarakat. Karena di samping pihak media cetak diuntungkan dengan berita unik yang sempat lolos dari liputan wartawannya. Di sisi lain, pengirim berita juga akan senang sebab tulisannya dimuat dan dibaca banyak orang, yang secara tak langsung menimbulkan dampak psikologis berupa kedekatan konsumen dengan media cetak. Sehingga terjadi simbiosis mutualisme, di mana kedua pihak akhirnya merasa diuntungkan. Dan jalinan rasa pertalian hubungan tak terlihat tersebut akan membuat berita yang disajikan koran akan tetap selalu dirindukan dan tak tergantikan di hati masyarakat, walaupun sajian berita di media online terus berjalan.

0 komentar:

Posting Komentar