Sabtu, 27 Juli 2013

Cara Baca Terhadap Rubrik Olahraga

Cara Baca Terhadap Rubrik Olahraga
Jumlah pembaca rubrik olahraga Jawa Pos didominasi oleh laki-laki. Hal tersebut dipengaruhi oleh ketimpangan yang terjadi pada dunia olahraga. Wanita hanya dijadikan sebagai faktor pendukung yang keberadaannya bukan prioritas, bukan yang utama. Misalnya dalam beberapa kasus olahraga profesional, wanita hanya sebagai objek pelengkap seperti umbrella girls di otomotif sports, atau pemandu sorak dalam beberapa olahraga (Davis, 1973:120).
Pertandingan-pertandingan olahraga bertaraf nasional, regional, maupun internasional dapat dilihat oleh hampir seluruh orang di muka bumi ini dapat dilihat siapa dalam olahraga yang begitu populer saat ini, yaitu laki-laki. Dari dunia olahraga yang nyata ini memunculkan ketertarikan yang berbeda terhadap preferensi membaca sebuah bacaan olahraga. Laki-laki yang merasa dominan dalam bidang olahraga akan lebih banyak menyukai content media yang berbau olahraga dibandingkan dengan perempuan.
Selain hal tersebut, faktor yang mempengaruhi dalam pembacaan sebuah content olahraga dalam media adalah macam content media itu sendiri. Liputan media untuk berita tentang olahraga wanita juga kurang, padahal olahraga pria selalu mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan televisi. Dalam beberapa surat kabar, perempuan tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai dunia olahraga mereka, tidak seperti laki-laki. Contoh yang ada pada rubrik olahraga Jawa Pos dapat dilihat dari header halamannya, yaitu Total Football, Liga Champion, Liga inggris, Formula 1, dan header lainnya  yang menunjukkan bahwa pelaku olahraga adalah laki-laki. Sehingga ketertarikan terhadap olahraga tersebut menyebabkan perilaku selektif (berkaitan langsung dengan preferensi) yang akan menyeleksi hal-hal yang mendukung keyakinannya dalam memilih informasi dalam content media yang menarik minat mereka (Nurudin, 2003: 183).
Faktor yang menjadikan dominasi laki-laki terhadap rubrik olahraga Jawa Pos ini adalah konstruksi sosial pada gender. Sejak kecil, anak-anak khususnya di Indonesia, diajarkan perbedaan peranan gender dalam kehidupan sehari-hari. Seperti penggunaan ilustrasi “anak perempuan yang selalu membantu ibunya di dapur atau anak laki-laki yang bermain layang-layang”. Demikian juga penggunaan kalimat, “Ayah membaca koran, sedangkan ibu memasak di dapur.”
Secara tidak langsung, penggunaan ilustrasi dan kalimat semacam itu telah memiliki andil untuk menanamkan kepribadian yang bias gender kepada setiap individu. Muncul stereotipe bahwa anak perempuan tidak pantas bermain layang-layang atau seorang ibu yang tak layak membaca koran. Stereotipe tersebut akan mempengaruhi perempuan untuk tidak membaca koran seperti halnya laki-laki, apalagi dengan content olahraga yang cenderung bersifat maskulin (Davis, 1973:120).
Maskulinitas content dalam rubrik olahraga Jawa Pos sangat menonjol. Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah header “TOP Figure” dalam rubrik olahraga yang membahas tentang profil atlet atau tokoh olahraga. Dalam pembahasan yang dilakukan oleh rubrik olahraga Jawa Pos sebagai media, sebenarnya tidak memiliki spesifikasi tertentu untuk menjadikan laki-laki atau perempuan sebagai segmentasinya. Namun, jika dilihat dari jumlah survey yang dilakukan secara acak, sebagian besar pembaca rubrik olahraga Jawa Pos tersebut adalah laki-laki, maka disini menunjukkan adanya pengaruh antara content gender yang ditampilkan dengan ketertarikan minat para pembacanya berdasarkan gender (Davis, 1973:120).
Selanjutnya cara baca masyarakat Surabaya menggambarkan bahwa masyarakat Surabaya membaca surat kabar secara berurutan. Hal ini disebabkan oleh adnya mayoritas masyarakat Surabaya yang membaca header Sportainment yang letaknya berada paling depan. Dari letaknya tersebut, masyarakat Surabaya yang akan memulai membaca sebuah rubrik tentunya akan secara tidak sadar memperhatikan berita apa yang paling baru yang diliput oleh Jawa Pos.
Selain dari faktor letak yang ada paling depan, pada header halaman spotainment tersebut terletak sebuah headline berita yang menjadi topik utama untuk dibahas. Pada hakikatnya headline yang terdapat pada header Sportainment tersebut merupakan intisari dari berita olahraga yang ingin ditonjolkan oleh rubrik olahraga Jawa Pos. Dibuat dalam satu atau dua kalimat pendek, tapi cukup memberitahukan persoalan pokok peristiwa yang nantinya menentukan minat audience untuk membaca atau tidak (Itule & Anderson, 2003:149).
Masyarakat Surabaya menunjukkan konsistensi terhadap membaca sebuah berita. Masyarakat Surabaya membaca berita berdasarkan header halaman, jenis olahraga, maupun dari coverage area beritanya dengan cara sama. Mayoritas masyarakat Surabaya membaca sebuah berita olahraga dengan cara acak. Kemudian peneliti menganilisa hal tersebut dikarenakan pada tahap perhatian yang selektif terhadap isi berita, pembaca tidak serta merta membaca semua content dari media, tetapi memberikan batasan terhadap dirinya sendiri untuk mengkonsumsi content sesuai dengan kebutuhannya (Retno Wahyu, 1997: 142). Sehingga kebutuhan setiap masyarakat Surabaya dalam membaca content rubrik olahraga Jawa Pos dapat diketahui dari apa saja yang dibacanya.
Kemudian dari pernyataan salah satu masyarakat Surabaya yang memiliki tingkat pendidikan sampai dengan Sarjana 3 mengatakan bahwa cukup membaca dua paragraf awal untuk mendapatkan informasi yang penting saja. Dia juga mengatakan bahwa dua paragraf di awal biasanya sudah mewakili 5 pertanyaan prinsip yang bisa diajukan, yaitu What (apa yang terjadi), Who (subjek yang terlibat dalam kejadian), Where (tempat kejadian), When (waktu kejadian), Why (penyebab terjadi sesuatu), How (bagaimana suatu kejadian bisa timbul). Paragraf selanjutnya adalah sebagai penjelas dan komentar.
Cara baca setiap masyarakat Surabaya juga dipengaruhi oleh kategori sosialnya, seperti tingkat pendidikan dan jumlah penghasilan. Meskipun bahasan olahraga merupakan tema yang universal, namun setiap masyarakat Surabaya yang memiliki tingkat pendidikan maupun jumlah penghasilan yang berbeda akan membaca rubrik olahraga dengan cara yang berbeda pula. Faktor jenis kelamin juga memiliki andil untuk mempengaruhi cara baca setiap masyarakat Surabaya. Perempuan dengan sifat feminin-nya akan lebih menyukai hal yang lebih detil daripada laki-laki, sehingga akan membaca content berita olahraga secara keseluruhan isi.
Masyarakat Surabaya cenderung lebih tertarik kepada gambar berita. Mayoritas dari mereka mengatakan bahwa dengan membaca gambar, mereka sudah tau berita apa yang ada dalam content rubrik olahraga. kemudian peneliti menganalisa jawaban masyarakat Surabaya tersebut karena gambar realitas dalam berita tekstual telah dikontruksi sedemikian rupa sehingga mendeskripsikan realitas baru gambar gambar tersebut (Fairclough, 1995: 203).
 “Poor pictures, short stories; good pictures, long stories!” (White, 1996: 115).

Seperti yang dikatakan White diatas, semakin bagus gambar yang ditampilkan oleh surat kabar, maka itu akan menceritakan banyak hal. Begitu pentingnya unsur gambar dalam rubrik olahraga Jawa Pos, sehingga berpengaruh pada panjang dan pendeknya representasi atas suatu realitas olahraga yang diberitakan. Kekuatan gambar tersebut menjadi nilai berita dan terkait dengan bentuk atau penyikapan masyarakat Surabaya atas sebuah gambar tersebut. Burton menyatakan bahwa bambar mengautentikkan suatu item berita ditinjau dari segi penghadiran tempat dan reporter kepada peristiwa dan menjadikannya nyata (Burton, 2007: 198-199).
Kecenderungan cara baca yang sama pada laki-laki dan perempuan tersebut dikarenakan adanya pengaruh sifat maskulinitas dalam olahraga. Sehingga memunculkan ketertarikan yang berbeda pula pada pembacaan sebuah content dalam rubrik olahraga.
“…karakter laki-laki adalah aktif, agresif, dan rasional. Aktivitas laki-laki lebih banyak berkaitan dengan olahraga yang dianggap menjadi nilai maskulinitas karena memberikan imajinasi petualangan dan kekuatan laki-laki…” (Fowles, 1996:201)

Sudah sejak lama olahraga dianggap hanya milik kaum maskulin, tetapi keterlibatan wanita dalam olahraga juga sudah mengikuti anggapan itu. Messner  mengatakan bahwa:
“…Sport became described as masculinity-validating experience…
…men’s participation in sport as a way of developing physical skill and strength, mental acumen, a gentlemanly demeanour and a sense of fair play…” (Maguire, 2002:203)

Beberapa pernyataan tersebut di atas seolah telah memberikan hak paten bahwa olahraga hanya milik kaum pria yang memang secara fisik dan mental lebih tangguh untuk berpatisipasi dalam aktivitas itu. Kaum wanita seolah telah termarjinalkan dari aktivitas olahraga, sehingga dalam ketertarikannya pada dunia olahraga modern juga sangat lemah. Semenjak dahulu wanita diberikan tanggung jawab hanya pada sekitar pekerjaan rumah tangga, seperti membersihkan rumah dan mengurus anak. Bahkan di Amerika-pun kebebasan wanita baru timbul pada sekitar akhir abab ke-16 (Boutilier dan SanGiovanni, 1981:181).
Berbeda dengan perempuan, ketertarikan laki-laki terhadap dunia olahraga tentunya memiliki andil pengaruh dalam kebutuhan informasi yang ingin didapatkannya, berbeda dengan perempuan yang kurang menyukai olahraga. Sifat maskulin laki-laki yang cenderung sesuai dengan content olahraga maka akan membaca lebih banyak daripada perempuan. Sifat maskulinitas olahraga tersebut juga didukung oleh jumlah content rubrik olahraga Jawa Pos yang menyajikan berita tentang olahraga laki-laki, perempuan hanya sebagai faktor pendukung saja. Contohnya adalah pemberitaan wanita yang lebih sering menjadi suporter, WAGs (sebutan bagi istri pemain bola), dan cheerleader. Meskipun ada beberapa content yang membahas tentang atlet perempuan, namun itu sangat sedikit.
Sedangkan jika dilihat dari jenis olahraganya, sepakbola masih menduduki peringkat teratas.
“…Sepak bola, bagaimanapun, hampir selalu diidentifikasi dengan maskulinitas. Kelelakian. Dan, jarang ada yang mengelak, seperti identifikasi permukaan di atas, sepak bola adalah olahraga yang "nglanangi". Olahraga yang membuat seorang lelaki tampak lebih lelaki...” 
Hal berbeda ditemukan pada data yang menunjukkan perempuan yang lebih menyukai bola basket dan sepak bola dengan prosentase sama. Analisa peneliti adalah perempuan yang menyukai content bola basket disebabkan karena pada olahraga bola basket peranan perempuan lebih diakui. Peran perempuan tersebut adalah sebagai cheerleader atau pemandu sorak yang mendukung sebuah tim. Pemandu sorak dalam dunia olahraga bola basket lebih diakui keberadaannya dibandingkan pada olahraga lain. Bahkan menjadi seorang cheerleader tim bola basket menjadi tren yang populer pada perempuan usia remaja. Keberadaan content bola basket dan cheerleader pada rubrik olahraga Jawa Pos didukung dengan adanya Development Basketball League dan Cheer Dance Competition yang diadakan oleh Jawa Pos. Sehingga pada eksemplar olahraga Jawa Pos memiliki halaman khusus untuk kompetisi tersebut.
Sedangkan untuk prosentase yang sama pada perempuan pembaca content sepak bola menurut peneliti disebabkan oleh keinginan perempuan untuk diakui eksistensinya pada olahraga maskulin. Para perempuan masuk pada berbagai cabang olahraga dengan semangat yang tinggi untuk menghapus anggapan bahwa olahraga hanya hegemoni maskulin. Seperti yang diungkap oleh IOC (2007:1) bahwa semula para wanita yang berlaga di olimpiade hanya mengikuti cabang olahraga tenis, berlayar, kriket, menunggang kuda, dan golf. Sekarang para wanita sudah dapat memainkan berbagai cabang olahraga modern seperti sepakbola, hoki, olahraga bela diri, triathlon dan bahkan pentathlon.
Namun, peneliti juga menemukan jawaban dari masyarakat Surabaya perempuan yang mengikuti berita olahraga hanya sebatas informasi saja. Informasi tersebut dia butuhkan karena faktor teman laki-lakinya. Saat berkumpul, dia sering diajak untuk menonton pertandingan sepak bola. Dari situ perempuan ini tidak mau ketinggalan informasi, sehingga membuat dia merasa membutuhkan informasi sepakbola. Hal ini sesuai dengan munculnya kebutuhan informasi dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi yang berkaitan kebutuhan fisiologi, afektif maupun kognitif terkait dengan peran seseorang dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut mengharapkan peran informasi dapat membuat seseorang masuk kedalam kelompok sosial tertentu (Atherton, 1986:109).

0 komentar:

Posting Komentar