Cara Baca Terhadap
Rubrik Olahraga
Jumlah
pembaca rubrik olahraga Jawa Pos didominasi oleh laki-laki. Hal tersebut
dipengaruhi oleh ketimpangan yang terjadi pada dunia olahraga. Wanita hanya
dijadikan sebagai faktor pendukung yang keberadaannya bukan prioritas, bukan
yang utama. Misalnya dalam beberapa kasus olahraga profesional, wanita hanya
sebagai objek pelengkap seperti umbrella girls di otomotif sports, atau pemandu
sorak dalam beberapa olahraga (Davis, 1973:120).
Pertandingan-pertandingan olahraga
bertaraf nasional, regional, maupun internasional dapat dilihat oleh hampir
seluruh orang di muka bumi ini dapat dilihat siapa dalam olahraga yang begitu
populer saat ini, yaitu laki-laki. Dari dunia olahraga yang nyata ini
memunculkan ketertarikan yang berbeda terhadap preferensi membaca sebuah bacaan
olahraga. Laki-laki yang merasa dominan dalam bidang olahraga akan lebih banyak
menyukai content media yang berbau
olahraga dibandingkan dengan perempuan.
Selain hal tersebut, faktor yang
mempengaruhi dalam pembacaan sebuah content
olahraga dalam media adalah macam content
media itu sendiri. Liputan media untuk berita tentang olahraga wanita juga
kurang, padahal olahraga pria selalu mendapatkan perhatian media surat kabar,
radio bahkan televisi. Dalam beberapa surat kabar, perempuan tidak mendapatkan
perhatian yang cukup mengenai dunia olahraga mereka, tidak seperti laki-laki.
Contoh yang ada pada rubrik olahraga Jawa Pos dapat dilihat dari header halamannya, yaitu Total Football,
Liga Champion, Liga inggris, Formula 1, dan header
lainnya yang menunjukkan bahwa pelaku
olahraga adalah laki-laki. Sehingga ketertarikan terhadap olahraga tersebut
menyebabkan perilaku selektif (berkaitan langsung dengan preferensi) yang akan
menyeleksi hal-hal yang mendukung keyakinannya dalam memilih informasi dalam content media yang menarik minat mereka
(Nurudin, 2003: 183).
Faktor yang menjadikan dominasi
laki-laki terhadap rubrik olahraga Jawa Pos ini adalah konstruksi sosial pada
gender. Sejak kecil, anak-anak khususnya di Indonesia, diajarkan perbedaan
peranan gender dalam kehidupan sehari-hari. Seperti penggunaan ilustrasi “anak
perempuan yang selalu membantu ibunya di dapur atau anak laki-laki yang bermain
layang-layang”. Demikian juga penggunaan kalimat, “Ayah membaca koran,
sedangkan ibu memasak di dapur.”
Secara tidak langsung, penggunaan
ilustrasi dan kalimat semacam itu telah memiliki andil untuk menanamkan
kepribadian yang bias gender kepada setiap individu. Muncul stereotipe bahwa
anak perempuan tidak pantas bermain layang-layang atau seorang ibu yang tak
layak membaca koran. Stereotipe tersebut akan mempengaruhi perempuan untuk
tidak membaca koran seperti halnya laki-laki, apalagi dengan content olahraga yang cenderung bersifat
maskulin (Davis, 1973:120).
Maskulinitas content dalam rubrik olahraga Jawa Pos sangat menonjol. Salah satu
contoh yang dapat dilihat adalah header
“TOP Figure” dalam rubrik olahraga yang membahas tentang profil atlet atau
tokoh olahraga. Dalam pembahasan yang dilakukan oleh rubrik olahraga Jawa Pos
sebagai media, sebenarnya tidak memiliki spesifikasi tertentu untuk menjadikan
laki-laki atau perempuan sebagai segmentasinya. Namun, jika dilihat dari jumlah
survey yang dilakukan secara acak,
sebagian besar pembaca rubrik olahraga Jawa Pos tersebut adalah laki-laki, maka
disini menunjukkan adanya pengaruh antara content
gender yang ditampilkan dengan ketertarikan minat para pembacanya berdasarkan
gender (Davis, 1973:120).
Selanjutnya cara baca masyarakat
Surabaya menggambarkan bahwa masyarakat Surabaya membaca surat kabar secara
berurutan. Hal ini disebabkan oleh adnya mayoritas masyarakat Surabaya yang
membaca header Sportainment yang letaknya
berada paling depan. Dari letaknya tersebut, masyarakat Surabaya yang akan
memulai membaca sebuah rubrik tentunya akan secara tidak sadar memperhatikan
berita apa yang paling baru yang diliput oleh Jawa Pos.
Selain dari faktor letak yang ada paling
depan, pada header halaman
spotainment tersebut terletak sebuah headline
berita yang menjadi topik utama untuk dibahas. Pada hakikatnya headline yang terdapat pada header Sportainment tersebut merupakan
intisari dari berita olahraga yang ingin ditonjolkan oleh rubrik olahraga Jawa
Pos. Dibuat dalam satu atau dua kalimat pendek, tapi cukup memberitahukan
persoalan pokok peristiwa yang nantinya menentukan minat audience untuk membaca
atau tidak (Itule & Anderson, 2003:149).
Masyarakat Surabaya menunjukkan
konsistensi terhadap membaca sebuah berita. Masyarakat Surabaya membaca berita
berdasarkan header halaman, jenis
olahraga, maupun dari coverage area beritanya dengan cara sama. Mayoritas masyarakat
Surabaya membaca sebuah berita olahraga dengan cara acak. Kemudian peneliti
menganilisa hal tersebut dikarenakan pada tahap perhatian yang selektif
terhadap isi berita, pembaca tidak serta merta membaca semua content dari media, tetapi memberikan
batasan terhadap dirinya sendiri untuk mengkonsumsi content sesuai dengan kebutuhannya (Retno Wahyu, 1997: 142).
Sehingga kebutuhan setiap masyarakat Surabaya dalam membaca content rubrik olahraga Jawa Pos dapat
diketahui dari apa saja yang dibacanya.
Kemudian dari pernyataan salah satu masyarakat
Surabaya yang memiliki tingkat pendidikan sampai dengan Sarjana 3 mengatakan
bahwa cukup membaca dua paragraf awal untuk mendapatkan informasi yang penting
saja. Dia juga mengatakan bahwa dua paragraf di awal biasanya sudah mewakili 5
pertanyaan prinsip yang bisa diajukan, yaitu What (apa yang terjadi), Who
(subjek yang terlibat dalam kejadian), Where
(tempat kejadian), When (waktu
kejadian), Why (penyebab terjadi
sesuatu), How (bagaimana suatu
kejadian bisa timbul). Paragraf selanjutnya adalah sebagai penjelas dan
komentar.
Cara baca setiap masyarakat Surabaya
juga dipengaruhi oleh kategori sosialnya, seperti tingkat pendidikan dan jumlah
penghasilan. Meskipun bahasan olahraga merupakan tema yang universal, namun
setiap masyarakat Surabaya yang memiliki tingkat pendidikan maupun jumlah
penghasilan yang berbeda akan membaca rubrik olahraga dengan cara yang berbeda
pula. Faktor jenis kelamin juga memiliki andil untuk mempengaruhi cara baca
setiap masyarakat Surabaya. Perempuan dengan sifat feminin-nya akan lebih
menyukai hal yang lebih detil daripada laki-laki, sehingga akan membaca content berita olahraga secara
keseluruhan isi.
Masyarakat Surabaya cenderung lebih
tertarik kepada gambar berita. Mayoritas dari mereka mengatakan bahwa dengan
membaca gambar, mereka sudah tau berita apa yang ada dalam content rubrik olahraga. kemudian peneliti menganalisa jawaban masyarakat
Surabaya tersebut karena gambar realitas dalam berita tekstual telah
dikontruksi sedemikian rupa sehingga mendeskripsikan realitas baru gambar
gambar tersebut (Fairclough, 1995: 203).
“Poor pictures, short stories; good pictures,
long stories!” (White, 1996: 115).
Seperti yang dikatakan White diatas,
semakin bagus gambar yang ditampilkan oleh surat kabar, maka itu akan
menceritakan banyak hal. Begitu pentingnya unsur gambar dalam rubrik olahraga
Jawa Pos, sehingga berpengaruh pada panjang dan pendeknya representasi atas
suatu realitas olahraga yang diberitakan. Kekuatan gambar tersebut menjadi
nilai berita dan terkait dengan bentuk atau penyikapan masyarakat Surabaya atas
sebuah gambar tersebut. Burton menyatakan bahwa bambar mengautentikkan suatu item berita ditinjau dari segi
penghadiran tempat dan reporter kepada peristiwa dan menjadikannya nyata
(Burton, 2007: 198-199).
Kecenderungan cara baca yang sama pada
laki-laki dan perempuan tersebut dikarenakan adanya pengaruh sifat maskulinitas
dalam olahraga. Sehingga memunculkan ketertarikan yang berbeda pula pada
pembacaan sebuah content dalam rubrik
olahraga.
“…karakter laki-laki adalah aktif,
agresif, dan rasional. Aktivitas laki-laki lebih banyak berkaitan dengan
olahraga yang dianggap menjadi nilai maskulinitas karena memberikan imajinasi
petualangan dan kekuatan laki-laki…” (Fowles, 1996:201)
Sudah sejak lama olahraga dianggap hanya
milik kaum maskulin, tetapi keterlibatan wanita dalam olahraga juga sudah
mengikuti anggapan itu. Messner
mengatakan bahwa:
“…Sport
became described as masculinity-validating experience…
…men’s participation in sport as a
way of developing physical skill and strength, mental acumen, a gentlemanly
demeanour and a sense of fair play…” (Maguire, 2002:203)
Beberapa pernyataan tersebut di atas
seolah telah memberikan hak paten bahwa olahraga hanya milik kaum pria yang
memang secara fisik dan mental lebih tangguh untuk berpatisipasi dalam
aktivitas itu. Kaum wanita seolah telah termarjinalkan dari aktivitas olahraga,
sehingga dalam ketertarikannya pada dunia olahraga modern juga sangat lemah.
Semenjak dahulu wanita diberikan tanggung jawab hanya pada sekitar pekerjaan
rumah tangga, seperti membersihkan rumah dan mengurus anak. Bahkan di
Amerika-pun kebebasan wanita baru timbul pada sekitar akhir abab ke-16
(Boutilier dan SanGiovanni, 1981:181).
Berbeda dengan perempuan, ketertarikan
laki-laki terhadap dunia olahraga tentunya memiliki andil pengaruh dalam
kebutuhan informasi yang ingin didapatkannya, berbeda dengan perempuan yang
kurang menyukai olahraga. Sifat maskulin laki-laki yang cenderung sesuai dengan
content olahraga maka akan membaca
lebih banyak daripada perempuan. Sifat maskulinitas olahraga tersebut juga
didukung oleh jumlah content rubrik
olahraga Jawa Pos yang menyajikan berita tentang olahraga laki-laki, perempuan
hanya sebagai faktor pendukung saja. Contohnya adalah pemberitaan wanita yang
lebih sering menjadi suporter, WAGs (sebutan bagi istri pemain bola), dan
cheerleader. Meskipun ada beberapa content
yang membahas tentang atlet perempuan, namun itu sangat sedikit.
Sedangkan jika dilihat dari jenis
olahraganya, sepakbola masih menduduki peringkat teratas.
“…Sepak bola, bagaimanapun, hampir
selalu diidentifikasi dengan maskulinitas. Kelelakian. Dan, jarang ada yang
mengelak, seperti identifikasi permukaan di atas, sepak bola adalah olahraga
yang "nglanangi". Olahraga yang membuat seorang lelaki tampak lebih
lelaki...”
Hal berbeda ditemukan pada data yang
menunjukkan perempuan yang lebih menyukai bola basket dan sepak bola dengan
prosentase sama. Analisa peneliti adalah perempuan yang menyukai content bola basket disebabkan karena
pada olahraga bola basket peranan perempuan lebih diakui. Peran perempuan
tersebut adalah sebagai cheerleader
atau pemandu sorak yang mendukung sebuah tim. Pemandu sorak dalam dunia
olahraga bola basket lebih diakui keberadaannya dibandingkan pada olahraga
lain. Bahkan menjadi seorang cheerleader
tim bola basket menjadi tren yang populer pada perempuan usia remaja.
Keberadaan content bola basket dan
cheerleader pada rubrik olahraga Jawa Pos didukung dengan adanya Development
Basketball League dan Cheer Dance Competition yang diadakan oleh Jawa Pos.
Sehingga pada eksemplar olahraga Jawa Pos memiliki halaman khusus untuk
kompetisi tersebut.
Sedangkan untuk prosentase yang sama
pada perempuan pembaca content sepak
bola menurut peneliti disebabkan oleh keinginan perempuan untuk diakui
eksistensinya pada olahraga maskulin. Para perempuan masuk pada berbagai cabang
olahraga dengan semangat yang tinggi untuk menghapus anggapan bahwa olahraga
hanya hegemoni maskulin. Seperti yang diungkap oleh IOC (2007:1) bahwa semula
para wanita yang berlaga di olimpiade hanya mengikuti cabang olahraga tenis,
berlayar, kriket, menunggang kuda, dan golf. Sekarang para wanita sudah dapat
memainkan berbagai cabang olahraga modern seperti sepakbola, hoki, olahraga
bela diri, triathlon dan bahkan pentathlon.
Namun, peneliti juga menemukan jawaban
dari masyarakat Surabaya perempuan yang mengikuti berita olahraga hanya sebatas
informasi saja. Informasi tersebut dia butuhkan karena faktor teman
laki-lakinya. Saat berkumpul, dia sering diajak untuk menonton pertandingan
sepak bola. Dari situ perempuan ini tidak mau ketinggalan informasi, sehingga
membuat dia merasa membutuhkan informasi sepakbola. Hal ini sesuai dengan
munculnya kebutuhan informasi dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi yang berkaitan
kebutuhan fisiologi, afektif maupun kognitif terkait dengan peran seseorang
dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut mengharapkan peran informasi dapat
membuat seseorang masuk kedalam kelompok sosial tertentu (Atherton, 1986:109).
0 komentar:
Posting Komentar